Read More

Aqiqah di Zaman Jahiliyah dan Fenomena di Masyarakat

       


 

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu nikmat terbesar bagi seorang hamba dalam sebuah keluarga muslim adalah dikaruniai perbendaharaan dan anak yang banyak. Hal itu lantaran Allah SWT telah menjadikannya sebagai fitrah yang dicintai oleh manusia dalam firman-Nya yang berbunyi :

ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلً

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. Al-Kahfi : 46)”

Pada ayat di atas Allah SWT mengaitkan perbendaharaan dan juga anak-anak dengan perhiasan dunia, karena dalam harta ada keelokan dan juga manfaat, sedangkan pada anak-anak ada kekuatan dan juga pembelaan, sehingga keduanya dinamakan sebagai perhiasan kehidupan dunia (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. 10, hlm. 413).

Sungguh menjadi sebuah kebanggan bagi semua orang tua, terutama seorang ayah  jika mereka bisa mengamalkan sunnah Rasulullah SAW ketika mendapatkan nikmat berupa lahirnya anak. Dorongan untuk bisa mengamalkan sunnah tersebut terinspirasi dari beberapa hadits Rasulullah SAW, di antaranya adalah :

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّي

“Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama” (HR. At-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Majah no. 3165)

Tradisi Aqiqah pada Masa Jahiliyah

Perihal menyelenggarakan aqiqah ini memang sudah menjadi tradisi di masyarakat, bukan hanya berlaku pada zaman Rasulullah dan bangsa Arab saja, namun juga sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat luas bahkan di kalangan orang-orang awam. Hanya saja dalam prakteknya masih banyak didapati hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at.

Pada zaman jahiliyah misalnya, mereka melumuri kepada bayi dengan darah sembelihan yang digunakan untuk aqiqah. Namun setelah datangnya cahaya ilmu syari’at Islam, Rasulullah memberikan contoh penyelenggaraan aqiqah dengan benar tanpa ada unsur keyakinan dan ritual yang justru memperkeruh kemurnian tauhid dengan hal-hal yang berbau syirik dan semisalnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalur Ummul Mu’minin ‘Aisyah d :

كَانُوْا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا عَقُّوْا عَنِ الصَّبِيّ خَضَبُوْا قُطْنَةً بِدَمِ اْلعَقِيْقَةِ. فَاِذَا حَلَقُوْا رَأْسَ الصَّبِيّ وَضَعُوْهَا عَلَى رَأْسِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اِجْعَلُوْا مَكَانَ الدَّمِ خَلُوْقًا

 “Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak wangi“. [HR. Ibnu Hibban juz 12, hlm. 124, no. 5308]

Fenomena Aqiqah di Masyarakat

Bila melihat tradisi aqiqah dewasa ini, masih banyak sekali kita dapati berbagai macam ritual-ritual yang diyakini memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi keluarga yang seringkali dilakukan pasca kelahiran si bayi sampai pada penyelenggaraan aqiqah. Hal itu terbukti di beberapa daerah yang masih kental menganut tradisi nenek moyang mereka.

Di jawa misyalnya, tradisi klasik kejawen berupa perayaan penimbunan ari-ari yang biasanya dikerjakan oleh sang ayah, dikubur di dekat pintu utama tempat tinggal, dipasang pagar bambu dan penerangan yang berbentuk lampu minyak dalam kurun 35 hari (selapan). Yang demikian itu diyakini karena ari-ari mempunyai “jasa” yang cukup besar sebagai batur bayi (sahabat bayi) sejak di dalam kandungan. Oleh karena itu semenjak fungsi utama ari-ari selesai dikala bayi lahir, organ ini akan terus dirawat dan dikubur sedemikian rupa agar tidak dicerna binatang ataupun membusuk di tong sampah.

Belum lagi tradisi aqiqah ini seringkali diiringi dengan ritual adat kejawen yang lebih dikenal dengan sebutan Sepasaran. Dimana dalam upacara tersebut pihak keluarga mempersilahkan tetangga sekitar beserta keluarga besar untuk turut mendoakan atas bayi yang sudah dilahirkan bersama dengan kenduri, bagi yang punya harta yang lebih umumnya melakukannya layaknya orang yang memiliki hajat (mantu). Adapun inti dari acara sepasaran ini adalah upacara selamatan sekalian memberitakan nama bayi yang telah lahir.

Orang tua era dulu melakukan upacara puputan bersama sedia kan sharing macam sesaji, tapi masyarakat jawa moderen biasanya acara puputan dibikin seiring bersama dengan upacara sepasaran ataupun selapanan, perihal ini terkait kapan tali pusar putus berasal dari pusar bayi.

Bila semua ritual adat di masyarakat tersebut dikaji secara syar’i, maka akan justru kontroversial dengan tuntutan syar’i. Pasalnya, ritual yang mengiringi aqiqah tersebut bermuatan kepercayaan terhadap benda mati dan arwah orang yang sudah meninggal dan diyakini bisa memberikan dampak menolak marabahaya dan mendatangkan keberkahan. Padahal keyakinan yang seperti ini adalah keyakinan yang batil sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنزعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah, “Ya Allah, Engkau-lah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali-Imran : 26)

Pada ayat lain juga dipertegas lagi bahwa semua makhluk dan benda mati tidak bisa  memberikan dampak buruk dan marabahaya  tanpa izin dan kehendak Allah, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya :

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun : 11)

Maka berpijak dari landasan syar’i di atas menjadikan kita sadar betapa pentingnya mengkaji dan mendalami ilmu-ilmu syar’i agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah dan diterima di sisi Allah SWT . 

No comments