Jangan Bercanda Dalam Tiga Perkara Ini
(Bagian. 2)
Berlebih-lebihan dalam bercanda bisa menyeret
pelakunya melakukan perbuatan di luar batas norma-norma yang dilarang oleh
Syar’i. Selain dampaknya bisa mengeluarkan pelakunya keluar dari Islam seperti
yang pernah dibahas di postingan sebelumnya, berlebih-lebihan dalam bercanda
juga bisa merusak keharmonisan dalam lingkup keluarga maupun masyarakat.
Hal ini dikarenakan ada perkara tertentu yang
dianggap remeh, tapi dampaknya bisa serius terjadi di luar kehendak hanya
karena sekedar main-main dan bercanda. Lalu apakah itu, sesuatu yang bisa
terjadi ketika serius dan bercanda. Berikut ini penjelasannya.
Sebenarnya pembahasan ini umumnya terjadi pada
subuah akad, dimana ia merupakan sesuatu yang muncul dari kehendak dua pihak
karena adanya dampak syar’i pada tempat yang sesuai sebagaimana definisi yang
dikutip dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (vol. 30, hlm.
199). Dan biasanya wewenangnya akan terikat hanya dengan terjadinya ijab dan
qobul secara syar’i. (Al-Jurjani, At-Ta’rifat, vol. 1, hlm. 196)
Namun dalam akad tertentu, bila dilangsungkan
dengan serius maupun bercanda, hukumnya sah bila memang sudah terpenuhi
syarat-syaratnya. Topik ini disimpulkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh sahabat Abu Hurairah – Radhiyallahu ‘Anhu – sebagai berikut :
عن
أبي هريرة -رضي اللَّه عنه أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال : «ثلاثة
جِدُّهُنَّ جِدُّ، وَهَزْلُهُنَّ جدّ : النَّكاحُ ، والطَّلاقُ ، والرَّجْعَةُ»
أخرجه الترمذي وأبو داود
“Dari Abu Hurairah – Radhiyallahu ‘Anhu – bahwa
Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – bersabda, “Ada tiga perkara
yang seriusnya adalah sungguhan dan bercandanya adalah sungguhan pula. Yaitu :
nikah, cerai dan ruju’.” (HR. At-Tirimidzi dan Abu Dawud).
Gambaran kasusnya, bila seorang lelaki bercanda dengan melakukan
akad pernikahan untuk putrinya dengan lelaki lain lalu lelaki lainnya itu
merima dan telah terpenuhi syaratnya. Maka hukumnya berlaku sebagai pernikahan
yang sah. Meskipun wali perempuan tidak berniat dan bermaksud dengan serius
untuk menikahkan putrinya.
Meninjau dari kasus tersebut, maka seorang wali telah berbuat
zhalim karena menyerahkan putrinya bukan pada pilihan lelaki yang tepat untuk
putrinya. Karena bercanda dalam akad tersebut sudah melewatkan tahapan seleksi
dalam pernikahan yang tentunya ini menjadi pertimbangan syar’i apakah lelaki
yang dia nikahkan bagus agama dan nasabnya,
serta kecocokan dalam memilih kesetaraan dan akhlak kepribadiannya.
Karena stadar keshalihan seorang lelaki yang akan dinikahkan menjadi pilihan
yang dianjurkan dalam sebuah hadits yang
berbunyi :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال :
- قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إذا أتاكم من ترضون خلقه ودينه فزوجوه .
إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض )
Dari Abu Hurairah – Radhiyallahu ‘Anhu- beliau
berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- bersabda, “Apabila
seseorang yang kalian ridhai akhlak dan agamanya datang kepada kalian (dalam
rangka melamar anak perempuan), maka nikahkanlah dengannya. Namun jika tidak
kalian lakukan, niscaya akan menjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang
meluas.” (HR. Ibnu Majah, no. 1967)
Maka bisa dipastikan bahwa seseorang yang bercanda dalam
perkara ini, dia tidak memperhatikan unsur penting dalam kehidupan berumah
tangga untuk putrinya. Maka wali dan lelaki shalih yang diidamkan dalam hadits
di atas pun tentunya tidak akan menjalani proses pernikahan dengan bermain-main
dalam akad.
Konsekuensi selain bercanda dalam akad pernikahan, pun
demikian sama halnya yang terjadi pada seorang lelaki yang men-thalaq
(baca : cerai) istrinya dalam keadaan bercanda tanpa ada maksud dan alasan yang
jelas.
Imam Al-Qadhi mengatakan, “Perceraian yang dilakukan oleh
seorang suami yang bercanda itu hukumnya sah terjadi bilamana lafal cerai
terucap jelas dari lisan seorang yang berakal lagi baligh. Maka tidak ada
gunanya seorang lelaki tersebut beralasan bahwa saat itu dia hanya main-main
ataupun bercanda.
Dikarenakan seandainya alasannya bisa diterima, maka semua hukum-hukum
syar’i niscaya terbatalkan hanya karena setiap seorang yang menceraikan
istrinya dan orang yang menikahkan putrinya
berlasan bercanda dalam perkataanya. Sehingga hal itu sama saja
membatalkan hukum-hukum Allah.
Maka barangsiapa yang mengatakan sesuatu yang penyebutannya
terdapat dalam hadits Nabi – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – tersebut ia
harus melazimi konsekuensi hukumnya, dan terkhusus pada tiga perkara ini.
Dikarenakan perkara yang berkaitan dengan soal kemaluan itu perlu dianggap
serius. (Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi
Jami’it Tirmidzi, vol. 4, hlm. 304).
Dengan demikian, seorang suami yang dengan bercandanya
mengatakan cerai kepada istrinya yang tidak melakukan perbuatan nusyuz
atau melenyeleweng dari kewajiban mentaati suami dalam ketaan kepada Allah dan
tanpa ada alasan yang jelas melanggar syar’i, maka sama saja dia telah berbuat
zhalim dan merusak kehormatannya.
Begitupun jika seorang suami yang dengan bercandanya
mengatakan kalimat ruju’ (bersatunya kembali hubungan suami-istri) pada
istrinya yang ia ceraikan namun masih dalam masa ‘iddah dan tanpa
berniat demikian, padahal kondisi istri memang layak diceraikan karena alasan
syar’i, seperti telah melakukan nusyuz atau menolak untuk taat pada suami. Maka
sama saja ia telah mempertahankan hal yang tak layak untuk kemaslahatan dirinya
dunia dan akhirat. Wallahu ‘Alam bish Showab
No comments