Hukum Mengkonsumsi Tulang
Di saat badan terasa lelah dan perut terasa lapar setelah
beraktivitas seharian, makan menjadi solusi penghilang rasa penat dan
memulihkan kembali semangat untuk bekerja. Terlebih bila selera makan dipicu
oleh menu yang menggoda dan rasa yang begitu nikmat, maka tentu akan menambah
nafsu makan yang tinggi. Salah satunya adalah menu makanan dengan santapan
daging, karena melihat bahwa menu tersebut banyak diminati di kalangan
masyarakat pada umumnya. Seperti di warung-warung makan, restoran, makanan khas
daerah, bahkan pada acara-acara resepsi.
Saking menu daging menjadi menu favorit dan banyak diminati, banyak
dari kalangan masyarakat pada umumnya yang tidak memisahkan daging dengan
tulangnya ketika disajikan, bahkan menjadi nikmat dan renyah bila tulangnya
juga menjadi santapan baik dalam bentuk presto atau bagian tulang yang lunak.
Fenomena yang cukup populer ini nampaknya menarik perhatian bagi sebagian
kalangan untuk mengkaji mengenai hukum syar'inya. Apakah hal ini diperbolehkan
menurut Islam ataukah tidak?
Sebelumnya, perihal memakan tulang, telah ada sebuah hadits yang
diceritakan dalam kitab Shahih Muslim, bahwa ada sekelompok dari
golongan jin yang bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-
mengenai makanan yang halal bagi mereka, maka beliaupun bersabada :
لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ
يَقَعُ فِي أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا يَكُونُ لَحْمًا وَكُلُّ بَعْرَةٍ عَلَفٌ
لِدَوَابِّكُمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَلَا
تَسْتَنْجُوا بِهِمَا فَإِنَّهُمَا طَعَامُ إِخْوَانِكُمْ».
“
Makanan bagi
kalian adalah setiap tulang yang disebut nama Allah. Ketika tulang itu kalian ambil, akan berubah
penuh dengan daging. Sementara kotoran binatang akan menjadi makanan bagi hewan
kalian. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Makan
janganlah kalian beristinja’ (bersuci setelah buang air) dengan keduanya,
karena sesungguhnya dia adalah makanan bagi saudara kalian (dari golongan
jin).” (Shahih
Muslim, 1/332, no. 450).
Namun hadits
di atas dengan jelas tidak menunjukkan adanya larangan memakan tulang, akan
tetapi menunjukkan adanya larangan supaya tidak ber- istijmar dengan
tulang, dikarenakan hal tersebut merupakan wujud memuliakan makanan bagi
golongan jin agar tidak digunakan untuk hal-hal yang hina dan menjijikan.
Karena alasan inilah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya
ber-istijmar dengan tulang sebagaimana yang disebutkan oleh Imam
Asy-Syaukani dengan menambahkan bahwa dalam hadits tersebut ada peringatan
mengenai larangan memberi makan binatang ternak dengan sesuatu yang najis,
karena alasan larangan ber-istijmar (bersuci dengan batu ketika tidak
ada air) dengan menggunakan kotoran hewan, karena itu menjadi makanan bagi
hewan ternak dari golongan jin. (Asy-Syaukani, Nail Al-Author, 1/127).
Sehubungan dengan tidak adanya dalil yang
menjelaskan secara spesifik tentang bolehnya memakan tulang
dan tidak ada dalil yang melarangnya, maka dalam hal seperti ini para ulama’ ushul
(ulama’ yang ahli di bidang ushul fikih) berpendapat untuk mengembalikannya kepada hukum asal dalam
sebuah kaidah umum yaitu:
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ
“Pada asalnya, hukum dari
segala sesuatu itu adalah mubah (diperbolehkan).” (Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith
fi Ushul al-Fiqh, 8/10).
Jadi, binatang apapun yang dagingnya
halal dimakan, maka halal pula tulangnya untuk dikonsumsi. Pendapat ini
disimpulkan berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
عَلَى طَاعِمٍ
“Katakanlah
(wahai Muhammad), “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan memakannya. (QS. Al-An’am
: 145).
Juga dikuatkan dengan hadits yang
dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dengan sanad yang hasan :
مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَهُوَ حَلَالٌ وَمَا حَرَّمَ
فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوا مِنْ اللَّهِ
عَافِيَتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
“Halal
ialah apa yang telah dihalalkan oleh Allah, dan haram ialah apa yang telah
diharamkan oleh Allah. Dan apa yang didiamkan oleh-Nya, maka ia adalah suatu
perkara yang dimaafkan untuk kalian. Oleh itu, terimalah kemaafan dari Allah.
Sesungguhnya Allah tidak akan lupa sedikitpu”. (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 6/250, no. 6124, dan Al-Bazzar dalam Musnad-nya,
10/26, no. 4087).
Walaupun dalam hal ini memakan tulang hukumnya adalah mubah
(diperbolehkan), akan tetapi perlu diperhatikan bahwa sesuatu yang mubah
tersebut tidaklah menjadi faktor timbulnya madharat (bahaya) yang
menimpa pada dirinya. Karena sesuatu yang diperbolehkan tersebut tidak lain
haruslah yang memberikan manfaat bagi dirinya.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan
oleh Al-Qadhi Abu Ya’la, “Bahwasanya seorang hamba itu membutuhkan hal-hal yang
memberikan manfaat, dan ketika dia memilikinya, maka tidak ada yang dapat
menimbulkan bahaya baginya, baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga yang demikian itu haruslah menjadi hal yang mubah baginya. (Al-Qadhi
Abu Ya’la, al-‘Uddah fi Ushul al-Fiqh, 4/1252).
Dengan demikian, pembahasan ini
menarik pada kesimpulan bahwa segala macam binatang yang dagingnya halal untuk
dimakan, maka halal pula tulangnya untuk dikonsumsi, dengan catatan tidak
menimbulkan dampak yang buruk baginya seperti dengan
dipresto, dijadikan bahan campuran makanan maupun minuman, ataupun dikonsumsi
langsung tulang mudanya. Wallahu a’lam.
Intisari :
·
Hukum
memakan tulang adalah mubah, asalkan tidak menimbulkan madharat (bahaya).
·
Tulang
binatang yang boleh dimakan adalah pada jenis binatang yang halal untuk
dikonsumsi dagingnya.
·
Tidak
ada dalil spesifik yang membolehkan maupun melarang memakan tulang, sehingga
dikembalikan pada kaedah umum tentang hukum asal suatu perkara, yaitu mubah.
Oleh : Azzam Elmahdy
No comments