Mewaspadai Penyakit Riya’ di Balik Pencitraan
Amalan apapun yang sebenarnya
bernilai mulia di mata manusia tidak bisa menjamin diterima di sisi Ar-Rahman,
lantaran ada faktor lain yang menghalangi diterimanya amalan tersebut. Salah
satunya adalah penyakit hati yang bernama Riya’ (pamer). Karena karakteristik
riya’ sendiri adalah memalingkan tujuan beramal yang mulanya berorientasikan
mencari keridhaan Allah kepada orientasi mencari perhatian dan pujian manusia.
Oleh karena itu, tujuan beramal
semacam ini jelas tertolak bahkan mendapat ancaman azab yang pedih sebagaimana yang
dikisahkan dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim.
Yakni perihal tiga golongan manusia yang pertama kali diadili Allah subhanahu
wa ta’ala di hari kiamat kelak dengan membawa amalan mulia di dunia seperti
berjihad di jalan Allah, banyak berderma dengan hartanya, serta mengajarkan
ilmu kitabullah tapi pada akhirnya justru mereka dicampakkan ke dalam api
neraka. (HR. Muslim, Dalam Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya’
was Sum’ah Istahaqqannar, 6/47)
Di samping sifat tersebut merupakan
aib, dosa riya’ ini bisa berimbas kepada dosa yang lain. Seperti yang
diutarakan oleh ulama tabi’in yang bernama Fudhail bin Iyadh rahimahullah
dengan perkataanya, “Aku mendapati ada orang-orang yang awalnya suka riya’
dengan apa yang dikerjakannya. Lambat laun mereka akhirnya memamerkan apa yang
sebenarnya bukan merupakan amal atau hasil karyanya.”
Fenomena riya’ yang sudah tidak asing
lagi terdengar dan didapati dalam kitab-kitab klasik para ulama, begitu relevan
dengan fenomena zaman sekarang yang lebih dikenal dengan pencitraan dengan
konotasi negatif. Hal itu bisa tergambarkan pada seseorang yang awalnya
memperbagus amal ibadah ataupun amal shalih dan ketaatan, namun tercampuri oleh
riya’ yang membuatnya ingin dianggap sebagai sosok ahli ibadah dremawan atau
gigih dalam membantu sesama.
Dan berdasarkan penelitian pada
umumnya, dampak negatif dari pencitraan tersebut adalah menjadikan seseorang
ingin menaikkan rating pujian orang terhadapnya. Karena yang penting baginya
adalah pujian orang, tak peduli dengan cara apapun yang dia lakukan. Anehnya
lagi ketika kemampuan dan kemauannya terbatas untuk meraup banyaknya pujian,
maka ia akan mengklaim suatu hasil, program, proyek atau keberhasilan suatu
hasil yang dilakukan oleh orang lain sebagai usaha dia.
Ini adalah
hasil dari pengamatan yang jelas dan jeli, bagaimana penyakit riya’ menjalar
dan berproses hingga membuahkan dosa baru yakni kedustaan demi mendapat pujian
banyak orang. Hal itu terbukti tatkala pelaku seseorang sedang melakukan
aktivitas pencitraan, ia berharap ada orang lain atau bahkan banyak orang bisa
menyaksikannya.
Cara lain bagi orang yang
berkepentingan melakukan pencitraan adalah dengan menampakkan ibadah tertentu,
di momen tertentu agar orang lain menilai bahwa aktivitas itu sudah melekat
dengan dirinya, dan sudah menjadi kebiasaan hariannya. Padadahal aktivitas itu
bukanlah kebiasaan aslinya. Inilah pencitraan yang mengandung kedustaan yang
berbaur dengan riya’. Bahayanya tidak hanya mengenai pelakunya, tapi juga
mengecoh banyak orang hingga mereka mengikuti ambisi pelaku berikutnya.
Sebenarnya, pada batasan ini saja
sudah berbahaya, karena ibadah atau amal tidak diterima ketika terkontaminasi
dengan sifat riya’. Dan ini masuk dalam kategori syirik meskipun ashghar
(kecil). Riya’ memang tercela, tapi sebatas membahayakan pelakunya saja.
Meskipun demikian, siapapun yang berharap agar amalannya terjaga dan diterima
di sisi Allah, ia akan selalu mewaspadai perbuatan yang bisa mencelakakan
dirinya ketika beramal.
Perihal
mewaspadai dan meminta perlindungan dari sifat riya’ ini sudah pernah
dicontohkan oleh generasi salafus shalih sebagaimana Imam Bukhari
meriwayatkannya dalam Adabul Mufrad,
كان الرجل من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا
زُكِّي، قال : اللَّهُمَّ لا تُؤَاخِذْنِي بِمَا يَقُولُونَ، واغْفِر لِي مَا لَا
يَعْلَمُونَ واجْعَلْنِي خَيْراً مِمَّا يَظُنُّونَ.
“Dulu ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang apabila dia dipuji mengucapkan, “Ya allah, jangan Engkau menghukumku
disebabkan pujian yang dia ucapkan, ampunilah aku, atas kekuranganku yang tidak
mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari penilaian mereka terhadapku.”
(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 761, dan sanadnya dishahihkan al-Albani.
Juga al-Baihaqi dalam Syua’abul Iman,4/228).
Bila
dibandingkan dengan aktivitas pencitraan, maka ini justru berkebalikan dengan
orang shalih, yang ketika ia dipuji atau dipandang orang di atas apa yang
dilakukannya maka akan beristighfar, mohon ampunan atas keteledoaran sekaligus
memohon kepada Allah agar diberi kemampuan melakukan amal lebih baik lagi.
Hikmah
berharga yang bisa diambil dari fenomena semacam ini adalah agar kita
senantiasa menjaga kemurnian beramal kita karena Allah, memohon perlindungan
dari aktivitas yang bisa tercemari karena riya’, serta mewaspadai sifat
tersebut di setiap gerak-gerik yang kita lakukan. Biarlah Allah sendiri yang
menilai segala kebaikan, meskipun tak ada seorang pun yang memberikan pujian.
Karena amalan semulia apapun di mata manisia, tidak bisa diharapkan mendapat
ridha-Nya, selama ada tendensi lain yang menyertainya.
Oleh : Azzam Elmahdie
No comments