Memilih Jalan Selamat Tanpa Sadar Membuka Pintu Madharat
Perkara yang acap kali menjadi
prioritas setiap orang adalah mengerjakan apa yang menjadi tugas dan
kewajibannya dengan profesional.
Tuntutan seperti ini menjadikan dia terpicu untuk berpikir keras dan lebih
fokus dengan urusan pribadi. Apalagi bila urusan tersebut harus bersingggungan
dengan interaksi sosial. Maka bagi orang yang hanya mengedepankan ego dan
kepentingan pribadi, ia akan lebih mencari maslahat tanpa memedulikan madharat
yang ditimbulkan dari apa yang telah ia perbuat.
Menjadi pribadi yang shalih merupakan pilihan yang tapat, namun juga harus menempatkan keshalihan tersebut sesuai dengan fungsi yang tidak hanya bermaslahat untuk diri pribadi, tetapi juga bermaslahat untuk orang lain yang merupakan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan kita.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan diri ketika
memilih jalan yang selamat, namun tidak mengabaikan agar orang lain mendapatkan
masalahat, atau setidaknya mencegah terjadinya madharat. Karena madharat itu
sendiri tidak hanya sepihak muncul dari niatan orang lain yang sudah sirik
dengan kita, tapi juga karena faktor tingkah laku kita di mata orang lain yang
menyebabkan demikian.
Berkenaan dengan hal ini, ada kisah
menarik yang diriwayatkan Ibnul Jauzi tentang seorang ulama bernama Ibrahim
An-Nakha’i – rahimahullah- yang buta sebelah matanya. Ia memiliki murid yang
penglihatannya juga lemah bernama Sulaiman bin Mihran –rahimahullah-. Dalam
kisahnya beliau mengkisahkan bahwa, pada suatu hari mereka berdua menyusuri
jalanan kota Kufah untuk mencari sebuah masjid Jami’.
Saat keduanya berada di jalan yang
sama Imam An-Nakha’i berujar, “Wahai Sulaiman, bisakah kamu lewat jalan yang
berlainan dengan saya?, sebab aku khawatir bila kita melewati jalanan yang sama
dan bertemu dengan orang-orang bodoh lalu mengejek, “ada orang buta sebelah
menuntun orang yang lemah pandangannya.” Maka Sulaiman pun berkata, “Wahai Abu
Imran, lantas kenapa dengan dirimu bila kita mendapat pahala sedangkan mereka
mendapat dosa?” Ibrahim An-Nakha’i menjawab, “Maha Suci Allah, bila kita
selamat dan mereka juga selamat itu jauh lebih baik daripada kita mendapat
pahala sedang mereka mendapat dosa.” (Ibnul Jauzi, al-Muntazham fi Tarikh
al-Umam wa al-Muluk, vol. 7, hlm. 21-22)
Pertimbangan pada sebuah keadaan yang
diperkirakan tidak nyaman ketika dilihat orang lain merupakan aib yang harus
dijaga dan tidak sebisa mungkin untuk ditutupi. Oleh karena itu dari kisah di
atas bisa diambil pelajaran bahwa setiap apa yang menjadi aib di mata orang
lain sebisa mungkin untuk tidak menampakkannya di depan umum.
Dalam sudut pandang Islam, menutupi
aib pribadi dan tidak menampakkannya di depan umum merupakan perkara yang harus
di jaga. Hal ini berdasarkan hadits :
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla
Maha Kekal dan Maha Penutup dan menyukai sifat pemalu dan sifat menyembunyikan
aib.” (Hadits
Riwayat Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, vol. 7, hlm. 157, hadits No. 13559).
Imam At-Turibisyti (wafat 661 H)
menjelaskan bahwa, “Allah Ta’ala itu tidak memperdulikah hal-hal yang
jelek, Maha menutupi segala aib dan dan kesalahan. Menyukai rasa malu dan
menutupi aib yang ada pada diri seorang hamba, hal itu agar ia berakhlak dengan
sifat-sifat Allah ta’ala sebagai bentuk sindiran bagi para hamba, dan juga
hasungan untuk berhias dengan sifat malu dan menutup aib.” (Ubaidullah
Al-Mubarakfuri, Mir’ah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, vol. 2,
hlm. 144).
Maka menutupi aib pada diri sendiri
agar tidak dilihat orang lain merupakan tindakan preventif dari timbulnya
madharat berupa pembicaraan negatif, bahan ejekan dan hal-hal lain yang bisa
memperburuk citra dan wibawa seorang muslim, dimana pelakunya mendapatkan dosa
lantaran bersikap buruk terhadap orang yang mempunyai aib, baik berupa
prasangka maupun perbuatan. Sehingga sesuatu yang bisa menimbulkan madharat
bagi diri sendiri dan orang lain harus dicegah dan dihilangkan sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits:
لَا
ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa membahayakan diri
sendiri ataupun orang lain.” (HR. Ahmad 1/313).
Di sisi lain, berpenampilan bagus
seperti: mengenakan pakain yang rapi dan sopan atau tindakan apapun agar tidak
dilihat aib menurut orang lain adalah salah satu alternatif menjaga kehormatan
pribadi. Oleh karena itu Islam menjunjung tinggi kehormatan seorang muslim agar
tidak menganiaya maupun dianiaya. Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ دِمَاءَكُمْ
وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ
هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ
رَبَّكُمُ، اللهُمَّ اشْهَدْ
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram (dilarang
untuk diganggu) sebagaimana kemuliaan hari kalian ini, di bulan kalian ini dan
di negeri kalian ini”. (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, vol. 7, hlm. 344,
No. 5103).
Imam Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah
(wafat 544) menjelaskan, “Semua ini merupakan penekanan terhadap kemuliaan
darah, harta dan kehormatan seorang muslim. Dan keharaman melakukan tindak
kezaliman kepada para hamba sebagaimana penekanan akan kemuliaan hari Nahr
(hari raya Idul Adha) dari bulan Haji di tanah Haram Mekkah.” (Ikmalul Mu’lim :
5/483).
Tulisan bang 👍
ReplyDeleteTulisannya bagus bang 👍
ReplyDelete