Hal-hal Seputar Aqiqah
Hukum Orang yang Belum Di-aqiqahi
Sejak Kecil, Apakah Dia Boleh Ber-Aqiqah untuk Dirinya Ketika Sudah Baligh?
Dalam perkara ini tidak ada larangan
seseorang yang belum di-aqiqahi di masa kecilnya kemudian ber-aqiqah untuk
dirinya meskipun sudah berusia dewasa. Pendapat ini disimpulkan dari adanya
atsar dari sebagian salaf yang membolehkan demikian. Di antaranya adalah
pendapat Imam Ahmad, Ibnu Sirin dan Hasan al-Bashri (Hisamuddin Ifanah, Ahkam
al-Aqiqah, hlm. 143-144)
Waktu Berlangsungnya Aqiqah
Para
ulama sepakat bahwa waktu disunnahkannya pelaksanaan aqiqah adalah pada hari
ketujuh pasca kelahiran sang bayi. Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi n bahwa setiap anak itu tergadaikan
dengan aqiqahnya, maka disembelihkan hewan aqiqah untuknya pada usia tujuh
hari, dipotong rambut kepalanya dan diberi nama. (HR. Ahmad 7/5, no. 2838).
Bila
aqiqah tersebut diberlangsungkan sebelum dan sesudah hari yang ke tujuh dari
kelahiran bayi, maka ada dua pendapat. Di antaranya adalah pendapat madzhab
Syafi’i dan Hambali. Sedangkan madzhab Maliki tidak membolehkan karena alasan
menyelisihi nash yang ada. (Hisamuddin Ifanah, Ahkam al-Aqiqah, hlm.
140-141)
Aqiqah janin yang keguguran
Apabila janin keguguran sebelum usia
4 bulan, tidak perlu diberi nama, tidak ada aqiqah. Karena aqiqah dan diberi
nama hanya bagi keguguran di usia masuk 5 bulan atau setelah ditiupkan ruh ke
janin. Karena dia dihukumi manusia, menjadi al-Afrath (anak yang akan
menolong orang tuanya). Sehingga dia diberi aqiqah, diberi nama, dimandikan,
dan dishalati. Ini jika keguguran di bulan kelima atau setelahnya, setelah
ditiupkan ruh.
Sementara keguguran di usia belum
genap 4 bulan atau baru masuk 3 bulan, tidak dihukumi al-Afrath. Akan tetapi
jika wujud janin seperti manusia, ada kepalanya, tangannya, kaki, atau organ
lainnya, maka sang ibu berlaku hukum nifas. Dia tidak boleh shalat, atau puasa.
Sementara janinnya, tidak dianggap sebagai anak kecil. Namun dia bisa
dikuburkan dimanapun, tidak perlu dimandikan, atau dishalati, karena tidak
dihukumi manusia. (Fatawa Lajnah Daimah, 18/249)
Aqiqah anak sebelum dan sesudah usia
tujuh hari
Berlanjut
perihal aqiqah sebelum usia tujuh hari dan anak sudah meninggal, maka ada tiga
pendapat di kalangan pakar fikih. Ada yang mengatakan bahwa yang demikian itu
tetap dianjurkan sebagaimana pendapat madzhab Syafi’i, dan ada juga yang
berpendapat wajib secara mutlak sebagamana pendapat yang dipegang imam Ibnu
Hazm, dan pendapat yang terakhir yaitu pendapat madzhab Maliki yang berpendapat
bahwa aqiqah yang demikian tidak dianjurkan, dan pendapat ini juga senada
dengan pendapat madzhab Hambali. (Hisamuddin Ifanah, Ahkam al-Aqiqah,
hlm. 145)
Dari
semua pendapat di atas, ulama di abad belakangan seperti syeikh Ibnu Utsaimin
lebih merajihkan bahwa aqiqah tetap disunnahkan meskipun usia anak tidak sampai
tujuh hari. (Syarh al-Mumti’, 7/539)
Adapun
mengenai pelaksanaan aqiqah setelah usia tujuh hari dan anak sudah meninggal,
juga tidak lepas dari ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih. Dan dalam
kajiannya disimpulkan bahwa pendapat yang masih menganggap adanya kewajiban
untuk ber-aqiqah adalah pendapat yang berasal dari kalangan pengikut madzhab
Ibnu Hazm, sedangkan pendapat yang hanya sekedar menganjurkannya saja adalah
pendapat yang paling shahih dari kalangan madzhab Syafi’i, dan yang terakhir
adalah pendapat lain dari kalangan madzhab Syafi’i dan merupakan pendapat yang
dipegang oleh madzhab Maliki. (al-Majmu’ : 5/432, al-Muntaqa,
4/200)
No comments