Hal-hal yang Berkaitan dengan Pendistribusian Aqiqah
A. Memanfaatkan
Sembelihan Aqiqah
Hukum aqiqah setelah melalui proses
penyembelihan adalah sebagaimana hukum udhiyah ditinjau dari sisi
pendistribusiannya menurut kalangan ahlul ilmi. Hal ini dikuatkan dengan pendapat
sebagian ulama di antaranya adalah :
Al-Hasan
Al-Bashri mengatakan, “Aqiqah itu segala sesuatunya dikerjakan sama seperti
halnya udhiyah”. (Al-Muhalla, 4/237)
Atha’
mengatakan, “Orang yang mempunyai hajat aqiqah itu boleh memakan hasil
sembelihannya dan membagikannya, karena Allah memerintahkan demikian. Atau jika
mau, mereka bisa menganggapnya sebagai sedekah. (Al-Muhalla, 4/237).
Al-Hafizh
Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Hal-hal yang dilakukan saat aqiqah itu dilalui
sama seperti apa yang dilalui ketika ber-qurban. Yakni dagingnya boleh dimakan,
disedekahkan dan diberikan kepada tetangga. Pendapat ini seperti ini juga
terdapat dalam riwayat Aisyah dan juga pendapat yang dipegang oleh jumhur
ulama’ (Fathul Malik, 7/109)
Dan
hal terpenting dalam pendistribusian aqiqah, para ulama tidak ada yang
berselisih pendapat mengenai tata cara pendistribusiannya. Di antara mereka ada
yang berpendapat dibagikan kepada para fakir miskin berupa daging mentah, ada
juga yang berpendapat untuk dimasak kemudian di bagikan ke tetangga, atau
dengan cara dibuatkan makanan kemudian mengundang para fakir miskin dan
tetangga untujk menikmati sajian walimah aqiqah tersebut. Hanya saja bila
disajikan dalam bentuk yang sudah dimasak lebih baik, karena tidak memberatkan
memberatkan mereka untuk memasak. (Diintisarikan dari kitab Tuhfah al-Maulud,
hlm. 59-60)
B. Memberikan
potongan daging bagian kaki hewan aqiqah kepada orang yang membantu persalinan
Sebagian
ahlul ilmu menganjurkan agar orang yang membantu proses persalinan agar
mendapatkan jatah daging bagian kaki hewan aqiqah. Sebagai bentuk rasa
berterima kasih atas jasanya, sehingga diberikan jatah daging pada bagian yang
spesial dan disukai banyak orang. Mereka berhujjah dengan perbuatan sahabat Ali
bin Abi Thalib yang pernah meng-aqiqahi untuk anaknya dan memberikan bagian
kaki hewan aqiqah kepada pembantu persalinan istrinya. (Tuhfah al-Muhtaj ila
Adillah al-Minhaj, 2/539)
C. Memberi makan
non-muslim dari hasil aqiqah
Sebagian
ahlul ilmi berpendapat makruh hukumnya memberi makan orang kafir yang
diambilkan dari hasil sembelihan aqiqah. Hal semacam ini pernah ditanyakan
kepada Imam Malik perihal apakah orang dari kalangan Nasrani boleh diberi makan
dari hasil udhiyah dan aqiqah, namun beliau berpendapat bahwa hendaknya hasil
sembelihan udhiyah dan aqiqah tidak didistribusikan kepada mereka. (Mawahib
al-Jalil, 4/393)
Hanya saja
dalam riwayat lain beliau juga berpendapat bahwa yang demikian itu
diperbolehkan dalam hal aqiqah. Kebolehan tersebut di-qiyas kan kebolehannya
dalam hal udhiyah. (Mawahib al-Jalil, 4/393)
Pendapat di
atas juga dikuatkan oleh Syeikh Hisamuddin dalam kitabnya al-Mufashal fi
Ahkam al-Aqiqah yang menjelaskan bahwa tidak ada alasan yang menghalangi
pemberian makan kepada Ahli Dzimmah yang diambilakan dari aqiqah. Terlebih lagi
bilamana target pendistribusiannya adalah para fakir miskin, tetangga dan
kerabat.
D. Hukum
memanfaatkan kulit hewan aqiqah
Pada asalnya
bagian manapun dari sembelihan hewan aqiqah tidak boleh diperjualbelikan.
Pasalnya sebagian besar permasalahan dalam aqiqah itu dikaitkan dengan berbagai
permasalahan dalam udhiyah.
Sedangkan
bila merujuk pada kajian dalam hal udhiyah, para ahli fikih telah menetapkan
bahwa sesuatu yang diambil dari udhiyah itu tidak boleh diperjualbelikan, baik
itu adalah dagingnya, kulitnya, maupun bagian kaki dan kepalanya. Baik itu dia
niatkan karena menjalankan kewajiban maupun karena mengamalkan sunnah. Karena
di sisi lain imam Ahmad juga menegaskan agar tidak ada bagian mana pun dari
sembelihan udhiyah untuk diperjualbelikan. (Hisamuddin Ifanah, Ahkam
al-Aqiqah, hlm. 112)
Namun di sisi
lain ada juga kalangan yang berpendapat bolehnya menjual kulit hewan aqiqah kemudian
bersedekah senilai harga jugalnya. Pendapat demikian diambil dari sahabat Ibnu
Umar c dan diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir
dari Ahmad dan Ishaq (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 9/450).
Dalam suatu
riwayat dari Aisyah d
juga disebutkan bolehnya memanfaatkan kulit hewan aqiqah dengan menjadikannya
tempat penampungan air, alas kaki, dan semacamnya. Hal ini di-qiyas kan dengan kulit hewan
udhiyah yang dijadikan tempat pembuangan sampah yang pernah ada pada zaman
sahabat. (Hisamuddin Ifanah, Ahkam al-Aqiqah, hlm. 113)
Perlu
diperjelas bahwa menurut pakar fikih segala hal yang berlaku dalam udhiyah ada
kesamaan dengan yang berlaku pada aqiqah sebagaimana pendapat madzhab Maliki,
madzhab Syafi’i, dan madzhab Hambali dalam suatu riwayat. Yakni tetap adanya
larangan menjual bagian manapun termasuk kulit aqiqah. (Al-Haththabi, Mawahib
al-Jalil, 4/394)
Hal ini
diperjelas lagi oleh Ibnu Rusyd bahwa hukum daging aqiqah begitu pula dengan
kulits dan seluruh bagiannya berlaku sebagaimana hukum daging udhiyah, baik
untuk dimakan, disedekahkan, dan larangan untuk diperjualbelikan. (Ibnu Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid, 1/377)
E. Kemakruhan memecah tulang hewan aqiqah
Dalam hal ini
ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Di antaranya adalah :
Pendapat madzhab
Syafi’i dan Hambali yang menganjurkan pemotongan hewan aqiqah sesuai dengan
ruas tulangnya, tidak sampai menghancurkan tulangnya, dan dimasak dalam keadaan
utuh perbagian anggota badannya. Mereka ber-hujjah dengan hadits seorang wanita
pembantu persalinan fatimah yang diberi bagian daging aqiqah bagian kaki yang
masih utuh. (Hisamuddin Ifanah, Ahkam al-Aqiqah, hlm. 116)
Namun dalam
satu riwayat imam Nawawi menambahkan bahwa dalam perkara ini tidak ada
kepastian larangan yang dimaksud. Dan pendapat yang paling shahih menurut
beliau tidak makruh.(An-Nawai, al-Majmu’, 8/430)
Berbeda
dengan imam Malik yang berpendapat bahwa bolehnya memecah tulang sembelihan
hewan aqiqah, bahkan dianjurkan. Hal itu karena ada maksud untuk menyelisihi
perbuatan orang-orang pada zaman jahiliyah yang tidak memecah pemotongan hewan
aqiqah sebagaiman juga pendapat dari sebagian madzhab Syafi’i. (Syarh
al-Kharsyi, 3/48).
No comments