Hukum Aqiqah Perspektif Syar'i
Para fuqaha’ berbeda pendapat mengenai status hukum aqiqah menjadi empat pendapat sebagaimana berikut ini:
Pendapat pertama, yaitu pendapat Jumhur ahlul ilmi dari kalangan sahabat, tabi’in dan fuqaha yang mengatakan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah mu’akaddah. Pendapat ini juga dipegang oleh madzhab Syafi’i, Maliki, dan merupakan pendapat masyhur yang dipegang oleh madzhab Hambali yang juga sependapat jumhur generasi setelahnya yang diutarakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 3/636)
Pendapat kedua, aqiqah itu hukumnya adalah fardhu atau pun wajib sebagaimana pendapat dari kalangan madzhab Zhahiri yang dipelopori oleh pemimpin madzhabnya yaitu Daud bin Ali. (Ibnu Abdil Barr, al-Istidzkar, 5/315)
Demikian juga pendapat Ibnu Hazm yang diriwayatkan dari Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslami dari kalangan sahabat, serta riwayat Abu Zinad yang merupakan pendapat Al-Hasan Al-Bashri. Hanya saja beliau berpendapat wajib hanya untuk anak laki-laki saja. Adapun pendapat yang mengatakan itu wajib adalah riwayat Imam Ahmad yang dipilih oleh kalangan madzhab Hambali yang juga sependapat dengan Syeikh Al-Albani dari kalangan ahli hadits. (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Zaad al-Ma’ad, 2/296)
Pendapat ketiga, adalah pendapat kalangan madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa ada perbedaan riwayat mengenai hukum aqiqah dalam madzhab mereka. Namun dari perbedaan riwayat yang ada, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Aqiqah adalah
bentuk ibadah tathawu’ yang siapa saja boleh mengerjakannya maupun meninggalkannya
semaunya. Dan ini selaras dengan pendapat jumhur dalam konteksnya secara umum.
2. Aqiqah merupakan
hal yang mubah hukumnya sebagaimana yang diutarakan oleh Al-Munbaji dan nukil
oleh Ibnu Abidin dari kitab Jami’ al-Mahbubi. (al-Lubab fi al-Jam’i Baina
as-Sunnah wa al-Kitab, 2/648)
3. Hukum aqiqah itu
sudah di-mansukh dan bila dikerjakan maka hukumnya makruh. Pendapat ini
merupakan riwayat dari Muhammad bin Al-Hasan yang merupakan pengikut madzhab
imam Abu Hanifah. Beliau mengatakan, “Adapun mengenai aqiqah telah sampai
riwayat kepada kami bahwa hal itu adalah sesuatu yang pernah ada pada zaman
jahiliyah dan pernah dikerjakan di awal Islam, kemudian ter-mansukh kan
dengan adanya sembelihan Idul Adhan yang me-mansukh kan setiap sembelihan
sebelumnya. (Al-Muwattha’, hlm. 226)
4. Aqiqah itu
hukumnya adalah wajib pada hari yang ke tujuh dari kelahiran seorang bayi
laki-laki saja bukan perempuan. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abdil Barr, yang juga merupakan pendapat
Qatadah sebagaiman yang diceritakan Ibnul Mundzir. (Ibnu Abdil Barr,
al-Istidzkar, 5/315)
No comments