Memanjangkan Rambut Bukan Termasuk Sunnah yang Wajib Dicontoh
(Konsultasi Syari'ah)
Assalamu’alaikum
wa Rahmatullah wa Barakatuh
Saya
ingin bertanya seputar kerapian rambut ustadz. Pada umumnya pondok pesantren
menerapkan peraturan untuk memotong rambut untuk kerapian, lalu bagaimanakah
dengan rambut Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – yang
rambutnya sebahu ustadz? (Muhammad Jundu Rohman - Magetan)
Wa’alaikum
Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Merapikan
rambut kepala merupakan bagian dari menjaga keindahan perangai setiap muslim.
Karena sesuatu yang indah dipandang adalah yang dicintai oleh Allah –
Subhanahu wa Ta’ala -. Dengan demikian, siapapun yang mempunyai rambut,
hendaknya merawat rambutnya dengan baik sebagaimana yang diperintahkan dalam
sebuah hadits Nabi – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ (رواه أبوداود)
Dari
Abu Hurairah – Radhiyallahu ‘Anhu – bahwa Rasulullah – Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam – bersabda, “Barangsiapa yang memiliki rambut, maka
hendaknya ia merawatnya. (HR. Abu Dawud, vol. 11, hlm. 215, no. 3632)
Hadits
di atas menjelaskan agar siapapun yang mempunyai rambut agar merawat rambutnya
dengan baik, dan konteksnya tidak terikat apakah rambut yang dimiliki panjang
ataupun pendek. Sehingga siapapun boleh atau mubah hukumnya memendekkan rambut
maupun memanjangkan rambutnya, selama tidak terkesan tidak baik di masyarakat.
Adanya Perbedaan Riwayat Mengenai Sifat Rambut Nabi
Sebelum mengkaji lebih dalam mengenai
sifat rambut Nabi – Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam – apakah panjang
atau pendek, maka perlu merujuk pada riwayat hadits yang berbicara perihal ini.
Dan singkatnya, ternyata hadits-haidits tentang sifat rambut beliau menyebutkan
dua keadaan. Yaitu : keadaan panjang dan pendek.
Mengenai
sifat rambut Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – yang panjang
sampai sebahu merujuk pada hadits yang berbunyi :
وعن أبي قتادة قال: سألت أنس بن مالك عن
شعر النبي صلى الله عليه وسلم فقال: كان شعر رسول الله رَجِلاً ليس بالسبط ولا
الجعد، بين أذنيه وعاتقه
Dari
Abu Qotadah dia berkata, saya bertanya kepada Anas bin Malik mengenai rambut
Nabi – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – lalu dia menjawab, “Rambut Rasulullah
dahulu tersisir, tidak lurus jatuh dan tidak ikal, panjangnya antara dua
telinga dan dua pundak beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Namun
perlu diketahui dalam riwayat lain disebutkan bahwa rambut Rasulullah juga
pendek sebagaimana hadits Al-Barra’ yang mengatakan :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم له
شعر يبلغ شحمة أذنيه
“Dahulu
Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – itu memiliki rambut yang
panjang sampai dua cuping telinganya.” (HR. Abu Dawud)
Menyikapi
perbedaan riwayat di atas, ada baiknya jika kita merujuk kepada penjelasan
ulama’ seperti Imam An-Nawawi dan Al-Qadhi yang menjelaskan bahwa perbedaan riwayat di atas disebabkan oleh
perbedaan waktu. Maka bila beliau – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam –
lalai untuk memendekannya, maka ia bisa sampai pundaknya, dan jika beliau
memendekkanya ia bisa sampai pertengahan telinga, sehingga terkadang rambut
beliau itu pendek dan panjang berdasarkan hal tersebut. (An-Nawawi, Syarh
Shahih Muslim, vol. 15, hlm. 91)
Dalam
kitab Syarh Ibnu Bathal juga ditambahkan, riwayat tentang sifat rambut Nabi –
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – tidak dalam satu waktu saja, sehingga atsar
(riwayat) yang ada terlihat saling kontradiktif.
Namun
secara pastinya adalah bahwa riwayat tentang ini bersumber dari waktu yang
masing-masing berbeda yang kemungkinan bertambah panjangnya rambut jika beliau
tidak memotongnya, dan jika karena lupa bisa sampai pundak.
Namun
bila beliau senantiasa menjaga dan memendekkannya, panjangnya hanya sampai
cuping telinga beliau atau hanya dekat dengan pundaknya. Berdasarkan perbedaan
keadaan tersebutlah, masing-masing orang (rawi) mengkabarkan berdasarkan apa
yang dia saksikan dan apa yang dia lihat. (Syarh Ibnu Bathal, vol. 17, hlm.
187)
Apakah Memanjangkan Rambut itu Sunnah untuk Ditiru?
Dalam
suatu riwayat disebutkan bahwa Rambut Nabi memang panjang akan tetapi itu bukan
dari bagian ta’abud (bentuk peribadatan), akan tetapi itu bagian dari
‘urf atau kebiasaan yang diterima di masa itu. Sebagaimana adatnya bangsa Arab
adalah mempunyai rambut yang panjang. (Ta’sisul Ahkam, vo. 5, hlm. 193)
Perbuatan
Nabi yang sejalan dengan adat yang ada pada bangsa Arab seperti memanjangkan
rambut ini tidak bisa dianggap bahwa mengikutinya adalah sunnah, karena
perbuatan memanjangkan rambut di sini tidak dimaksudkan tasyri’. Kecuali pada
sifat-sifat yang melekat padanya seperti mengenakan pakaian putih, mengangkat
sarung sampai pertengahan betis dan menutup kepala, maka jika sesorang
mencontoh perbuatan tersebut dia mendapat pahala.
Hal
ini dikarenakan adat yang biasa dilakukan Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam – dianggap sebagai adat yang paling bagus dan sempurna, sehingga
pelaku yang menirunya dengan niatan meneladani beliau mendapat pahala.
Perbuatan
Nabi – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam –
dalam memanjangkan rambut termasuk perbuatan yang sifatnya jibilli
(tabi’at yang lumrah) yang para ulama’
mengkategorikannya dalam perbuatan yang mubah. Karena saat itu Rasulullah –
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – tidak bermaksud tasyri’ (legislasi
hukum syar’i) dan tidak pula dianggap ibadah bila kita mengikutinya. Dengan
demikian, perbuatan semisal dinisbatkan kepada keperangaian yang berarti fitrah
bawaan beliau.
Setelah
kita tahu bahwa memanjangkan rambut sampai hampir sebahu itu bukan teramasuk
perbuatan Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – yang dianjurkan
untuk dicontoh, maka hukumnya kembali kepada adat dan peraturan yang berlaku di
tempat seseorang itu tinggal.
Dengan
demikian, apabila suatu lembaga pondok pesantren memberlakukan peraturan untuk merapikan
rambut dengan memendekkannya, maka
siapapun yang telah resmi menjadi ahlu ma’had wajib menaati peraturan yang
telah disepakati. Karena Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam –
bersabda :
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Kaum
Muslimin itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu
Dawud, no. 3596)
Wallahu
‘Alam bish Shawab
No comments