Hal Yang Perlu Diwaspadai Bagi Penjual Makanan
(Konsultasi Syari'ah)
Nama : Eni Widaningsih
Asal : Salatiga
Pertanyaan :
Assalamu'alaikum
Warahmatullah Wabarakatuh
Afwan ustadz,
izinkan saya mengajukan pertanyaan berikut. Kami sudah lama berhijrah
meninggalkan mencari rezeki yang syubhat dan lebih hati-hati dalam mencari
rezeki yang halalan thoyyiban. Sekarang kami
( saya dan suami ) membuka usaha dengan berjualan makanan kuliner dan
sebagiannya makanan serta minuman bukan produk buatan kami sendiri. Tapi ada hal
yang mengganjal mengenai jual produk-produk yang bukan buatan kami sendiri. Karena
keterbatasan pengetahuan kami, maka dari itu kami meminta penjelasan hal apa
sajakah yang tidak boleh kami jual menurut pandangan syar’i? Jazakumullah
khoiron atas penjelasannya ustadz.
Wasalamualikum Warahmatullah
Wabarakatuh
Jawaban :
Wassalamu’alaikum
Warahmatullah Wabarakatuh
Alhamdulillah Washsholatu
Wassalamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.
Tuntutan mencari
rizki dengan cara yang halal menjadi prinsip utama sorang muslim untuk
keberlangsungan kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini tentunya tidak terlepas
dari mencari berkah dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala sebagai tujuan,
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً
Sesungguhnya
Allah Ta’ala itu baik dan hanya menerima yang baik saja (HR. Muslim, no.
1015)
Selanjutnya mengenai
jual beli yang bapak dan ibu langsungkan selama ini, perlu memperhatikan beberapa
rambu-rambu untuk mewaspadai diri dari jenis jual beli yang dilarang dalam
kacamata Islam.
Dalam masalah
ini ada dua sisi penting yang perlu ditinjau dan dikaji. Pertama dari sisi akad
jual beli atau bentuk transaksi yang dilangsungkan, apakah sudah memenuhi
syarat-syarat yang layak dalam jual beli atau belum, dan yang kedua ditinjau
dari dzatul mabi’, yaitu barang yang diperjualbelikan.
Pertama, untuk
menyikapi model transaksi jual beli, perlu diketahui bahwa kaedah umum dalam
jual beli adalah sebuah mu’amalah yang mubah (boleh), selama tidak ada dalil
yang menjelaskan tentang keharamannya dalam Al-Qur’an dan hadits. Pendapat ini
dinukil dari para ulama dari masa ke masa dan dari berbagai madzhab kecuali
madzhab Zhahiriyah. Di antaranya :
Imam Syafi’i
(wafat ; th 204 H) berkata,
أَنْ يَكُوْنَ اللهُ
عَزَّ وَ جَلَّ أَحَلَّ الْبَيْعَ إِذَا كَانَ مِمَّا لَمْ يَنْهَ عَنْهُ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
“Allah telah menghalalkan
setiap jual beli, apabila tidak ada larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. (Al-Umm, vol. 3, hal. 3)
Ibnu Amir Hajj seorang
dari kalangan madzhab Hanafi (wafat th 879) mengatakan,
اَلْأًصْلُ فِي الْبَيْعِ
الحِلُّ
“Hukum asal setiap akad
adalah halal.” (At-Taqrir wa At-Tahbir, vol. 1, hal. 263)
Ibnu
Ar-Ruhaybani Al-Hambali (wafat th 1243H) mengatakan,
اَلْأَصْلُ فِيْ
الْعُقُوْدِ الْجَوَازُ
“Hukum asal dalam akad-akad
itu adalah boleh.” (Mathalib Ulin Nuha, vol. 3, hal. 608)
Di antara dalil
kaidah ini yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Hakim
bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ
اللهِ، إِنِّــيْ أَشْتَرِيْ بُيُوْعًا فَمَا يَحِلُّ لِيْ مِنْهَا وَمَا يَحْرُمُ
عَلَيَّ؟ قَالَ : يَا ابْنَ أَخِيْ، إِذَا اشْتَرَيْتَ مِنْهَا بَيْعًا فَلَا تَبِعْهُ
حَتَّى تَقْبِضَهُ.
“Wahai Rasulullah, saya
sering melakukan jual-beli, apa jual-beli yang hala dan yang haram? Nabi bersabda,
“Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum
barang tersebut engkau terima” (HR. Ahmad, Imam Nawawi menyatakan derajat
hadits ini hasan).
Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjelaskan hal-hal yang
diharamkan dalam jual beli padahal beliau ditanya tentang kaidah halal/haram
dalam jual beli maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya setipa jual beli
hukumnya boleh, kecuali terdapat larangan dalam akad tersebut.
Dari kajian
mengenai dalil-dalil yang menyatakan akad jual-beli itu haram dirumuskan berdasarkan
faktor-faktor yang menyebabkan sebuah muamalat diharamkan, yaitu : zhulm
(kezaliman), gharar (menipu), dan riba.
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah berkata,
مَادَمَ لَيْسَ فِيْهِ
ظُلْمٌ وَلَا غَرَرٌ وَلَا رِبًا فَالأَصْلُ الصِّحَّةُ
“Selama dalam akad tidak
terdapat unsur kezaliman, gharar dan riba, maka akad tersebut sah.” (Al-Mumti’,
vol. 9, hal. 120)
Kedua, hal yang
menjadi pertimbangan selanjutnya adalah jual beli tersebut ditinjau dari barang
yang dijual. Jika di sini wujudnya adalah barang untuk dikonsumsi, seperti
makanan dan minuman. Maka kaidah di atas berlaku pada semua perkara yang tidak
dijelaskan dalam nash syariat kecuali dua perkara;
Pertama, benda-benda
yang mengandung bahaya yang jelas pengaruhnya. Karena benda yang berbahaya,
hukum asalnya adalah haram. Tidak termasuk dalam kaidah ‘Hukum asal pada setiap
benda adalah boleh’.
Allah Taala
berfirman,
وَلَا تُلْقُوا
بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (سورة
البقرة: 195)
“Dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)
وَلَا تَقْتُلُوا
أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
(سورة النساء: 29)
“Janganlah kamu
membunuh diri kamu sendiri, sesungguhnya Allah maha pengasih kepada kalian.”
(QS. An-Nisa: 29)
Abu Said
Al-Khudry radhiallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ (رواه
الحاكم، 2 / 57 – 58 وقال صحيح الإسناد على شرط مسلم ، وصححه الألباني في "
سلسلة الأحاديث الصحيحة، 1 / 498)
“Tidak boleh
melakukan sesuatu yang berbahaya dan membahayakan.” (HR .Hakim, 2/57-58, dia
berkata, sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim, dinyatakan shahih oleh
Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/498)
Syekh mufassir
Amin Asy-Syinqithi rahimahullah telah mengkaji masalah ini, dan beliau
mengatakan, “Jika di dalamnya terdapat bahaya yang tidak terselubung manfaat,
maka dia diharamkan, berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
“Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan membahayakan.” Jika pada
benda itu memiliki manfaat di satu sisi dan bahaya di sisi lain, maka dalam hal
ini ada tiga kondisi;
Pertama:
Manfaatnya lebih besar dari bahayanya.
Kedua:
Sebaliknya.
Ketiga: Sama
derajatnya.
Jika bahayanya
lebih besar dari manfaatnya, makan terlarang, berdasarkan hadits, karena
menolak kerusakan didahulukan daripada mendatangkan manfaat.
Jika manfaatnya
lebih besar, maka pendapat yang lebih kuat adalah dibolehkan. Karena kaidah
yang berlaku dalam ushul fiqih adalah bahwa ‘Maslahat yang kuat didahulukan daripada kerusakan yang
tidak kuat’ (Adhwa’ul Bayan, 7/793-794)
Kedua, hukum asal
pada sembelihan adalah haram. Karena sembelihan asalnya tidak boleh dimakan,
kecuali jika telah diyakini bahwa dia disemebelih dengan memenuhi
syarat-syaratnya.
Al-Khatabi
rahimahullah berkata, “Adapun sesuatu, jika asalnya adalah dilarang, tapi
dibolehkan berdasarkan syarat-syarat atau cara tertentu. Seperti kemaluan
misalnya, tidak dihalalkan kecuali setelah pernikahan atau perbudakan. Seperti kambing, dagingnya tidak halal
kecuali disembelih. Apabila seseorang
ragu adanya syarat-syarat (penyembelihan), sedangkan dia mendapatinya dengan
yakin sesuai ciri-ciri yang menjadi tanda kehalalannya, maka hewan tersebut
masih tetap dalam hukum asalnya, yaitu haram.” (Ma’alim Sunan, 3/57)
Akan tetapi,
cukup kita meyakini kehalalannya dengan mengetahui bahwa penyembelihnya adalah
seorang muslim atau dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani), setelah itu
tidak disyaratkan meneliti cara menyembelihnya.
Berdasarkan hal
tersebut, maka sembelihan-sembelihan yang terdapat di negeri-negeri Islam, atau
negeri Ahli Kitab, dihukumi halal, kecuali jika kita dapat membuktikan bahwa
hewan tersebut disembelih dengan cara bertentangan dengan syariat Islam,
seperti dicekik, setrum listrik, atau disembelih tidak menyebut nama Allah dan
semacamnya.
Produk yang
tidak ada petunjuk dalil syar’i bahwa dia diharamkan, atau tidak ada petunjuk
kandungan yagn diharamkan atau berbahaya, maka kita menghukuminya sebagai halal
dan suci. Hukum asalnya tidak berubah
hanya karena ragu atau informasi yang tidak kuat.
Jika kandungan
suatu makanan tersebut berasal dari barang haram, apakah seluruh makanan
tersebut haram dimakan? Maka jawaban dan prinsipnya adalah: jika kandungan
barang yang haram itu masih ada zatnya, maka dia haram dimakan. Jika benda
tersebut telah berubah menjadi benda lain karena sebab reaksi atau proses
tertentu, sedangkan unsur haram pada benda pertama tidak lagi tersisa zatnya,
maka pendapat yang kuat di antara pendapat para ulama adalah bahwa makanan
tersebut boleh dikonsumsi. Wallahu ‘Alam bish Showab.
No comments