Hukum Puasa Sunnah Di Setengah Akhir Bulan Sya’ban
Bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan kita sambut merupakan bulan dimana kita tertidik untuk melaksanakan ketaatan berupa puasa wajib seharian penuh. Orang yang tidak terbiasa menjalankan puasa sunnah, ketika puasa Ramadhan mungkin sebagian kita akan merasa berat, apalagi di usia kanak-kanak yang memang dianjurkan untuk berlatih puasa sejak dini. Sehingga ada sebagian kalangan yang berpuasa sunnah terlebih dahulu sebelum memasuki bulan Ramadhan sebagai bentuk pemanasan dan latihan.
Kendati demikian, ada suatu riwayat yang menyebutkan larangan
puasa di setengah akhir bulan Sya’ban. Lantas bagaimanakah hukum berpuasa
sunnah di rentang waktu antara pertengahan bulan Sya’ban sampai bulan Ramadhan?
Maka di pembahasan kali ini alangkah baiknya kita menyimak penjelasan para
ulama’ berikut :
Dalil Larangan Puasa di Setengah Kedua Bulan
Sya’ban
Sebenarnya dalil yang mendasari larangan puasa di setengah akhir
bulan Sya’ban adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 3237, Tirmizi,
no. 738, Ibnu Majah, no. 1651 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا انْتَصَفَ
شَعْبَانُ فَلا تَصُومُوا (صححه الألباني في صحيح الترمذي، رقم 590)
“Kalau telah memasuki pertengahan Sya’ban, maka janganlah kalian
berpuasa.” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi, 590)
Hadits ini menunjukkan larangan berpuasa setelah pertengahan
Sya’ban, yaitu dimulai dari hari keenam belas. Akan tetapi telah ada
(dalil) yang menunjukkan dibolehkannya berpuasa.
Dalil Lain yang Menunjukkan Kebolehan Puasa
Di Setengah Kedua Bulan Sya’ban
Diantaranya adalah, Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, no.
1914. Muslim, no. 1082 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,
Rasulullaah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا تَقَدَّمُوا
رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا
فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului bulan Ramadan dengan berpuasa
sehari atau dua hari, melainkan seseorang yang (terbiasa) berpuasa, maka
berpuasalah.”
Hal ini menunjukkan bahwa berpuasa setelah pertengahan bulan
Sya’aban diperbolehkan bagi orang yang mempunyai kebiasaan berpuasa,
seperti seseorang terbiasa berpuasa Senin dan Kamis atau berpuasa sehari dan
berbuka sehari atau semisal itu.
Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 1970, Muslim, no. 1156 dari
Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, biasanya Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam berpuasa pada seluruh bulan Sya’ban. (Maksudnya) berpuasa
di bulan Sya’ban kecuali sedikit (beberapa hari yang tidak berpuasa)."
Redaksi dari Muslim.
Penjelasan Ulama’ Tentang Makna Hadits “Nabi
Berpuasa Penuh di Bulan Sya’ban”
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ungkapan
كَانَ يَصُوم شَعْبَان
كُلّه , كَانَ يَصُومُهُ إِلا قَلِيلاً
biasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa
pada seluruh bulan Sya’ban. (Maksudnya) berpuasa di bulan Sya’ban kecuali
sedikit (beberapa hari yang tidak berpuasa)."
Kalimat kedua adalah penafsiran dari kalimat pertama, dan
menjelaskan bahwa kalimat ‘Kullahu’ maksudnya adalah Ghalibuhu,
yaitu sebagian besarnya.
Hadits ini menunjukkah dibolehkannya berpuasa setelah
pertengahan bulan Sya’ban, akan tetapi bagi siapa yang ingin menyambung dengan
puasa sebelumnya.
Bagaimanakan Ulama’ Menyikapi Kasus ini?
Ulama kalangan mazhab Syafi’i telah mengamalkan hadits-hadits
ini, lalu mereka berkata, tidak dibolehkan berpuasa setelah pertengahan bulan
Sya’ban kecuali bagi orang yang terbiasa berpuasa atau ingin melanjutkan
puasa sebelum pertangahan (Sya’ban). Dan ini adalah pendapat terkuat menurut
kebanyakan mereka (ulama mazhab Syafi’i) bahwa larangan dalam hadits adalah
untuk pengharaman. Sebagian lain berpendapat –seperti Ar-Ruyani- bahwa larangan
tersebut bersifat makruh, bukan untuk mengharamkan. (Silakan lihat kitab
Al-Majmu, 6/399-400, dan Fathul Bari, 4/129)
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitab
Riyadus Shalihin, hal. 412: “Bab larangan mendahului Ramadhan (dengan berpuasa)
setelah pertengahan Sya’ban kecuali bagi orang yang meneruskan puasa sejak sebelum
pertengahan (Sya’ban) atau bertepatan dengan kebiasaan berpuasa Senin
Kamis."
Pendapat Para Ulama’ Tentang Status Hadits
yang Melarang Puasa di Pertengahan Akhir Sya’ban
Mayoritas ulama melemahkan hadits larangan berpuasa setelah
pertengahan Sya’ban. Berdasarkan hal itu mereka mengatakan, tidak dimakruhkan
berpuasa setelah pertengahan Sya’ban.
Al-Hafiz rahimahullah berkata: “Mayoritas ulama
membolehkan berpuasa sunah setelah pertengahan Sya’ban, dan mereka melemahkan
hadits yang ada tentang hal itu. Imam Ahmad dan Ibnu Main berkata bahwa
(haditsnya) munkar.” (Fathul Bari).
Di antara yang melemahkannya juga adalah Baihaqi dan At-Thahawi.
Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni bahwa Imam Ahmad
berkomentar tentang hadits ini, 'Tidak valid. Kami pun menanyakan kepada
Abdurrahman bin Mahdi, beliau tidak menshahihkannya, dan tidak meriwayatkannya
kepadaku, bahkan beliau menghindarinya. Alaa’ adalah perawi tsiqah
(terpercaya), haditsnya tidak diingkari, selain ini (saja).”
Al-Alaa adalah Al-Alaa bin Abdurrahman meriwayatkan hadits ini
dari bapaknya dan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Ibnu Qoyyim rahimahullah
telah menjawab dalam kitab Tahzibus Sunan terhadap orang yang melemahkan
hadits ini, kesimpulannya adalah bahwa sesungguhnya hadits ini shahih
dengan persyaratan Muslim.
Adapun bahwa Al-Alaa meriwayatkan hadits seorang diri tidak
termasuk cacat, karena beliau tsiqah (terpercaya). Muslim telah mengeluarkan
banyak hadits dari beliau dari bapaknya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
Banyak terdapat dalam kitab Sunan, para perawi yang tsiqah, sendiri dalam
meriwayatkan (hadits) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umat
dapat menerima dan mengamalkannya.
Jalur Tengah Menyikapi Dua Riwayat yang
Terlihat Kontroversi
Dugaan bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits yang
menunjukkan (dibolehkannya) puasa Sya’ban, sebenarnya tidak ada pertentangan di
antara keduanya. Karena hadits-hadits yang membolehkan berpuasa
ditunjukkan bagi mereka yang berpuasa pada pertengahan Sya'ban untuk meneruskan
puasa sebelumnya dan bagi mereka yang biasa berpuasa pada pertengahan
kedua.
Maka hadits Al-Alaa menunjukkan larangan berpuasa bagi mereka
yang tidak terbiasa berpuasa setelah pertengahan (Sya’ban), bukan karena
kebiasaan, juga bukan karena ingin meneruskan puasa dari pertengahan
sebelumnya.”
Syekh Ibn Baz rahimahullah ditanya tentang hadits
larangan berpuasa setelah pertengahan Sya’ban, beliau menjawab: “Ia adalah
hadits yang shahih sebagaimana dikatakan Al-Allamah Syekh Nasiruddin Al-Albany.
Maksud larangannya adalah baru memulai berpuasa dari pertengahan bulan
(Sya'ban).
Adapun bagi yang sudah sering berpuasa atau telah banyak
berpuasa di bulan (Sya’ban), maka dia telah sesuai dengan sunnah.” (Al-Majmu
Fatawa Ibnu Baz, 15/385)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam syarah
(penjelasan) Riyadus Shalihin, 3/394: “Kalau pun haditsnya shahih, maka
larangannya tidak bermakna haram akan tetapi hanya makruh saja. Sebagaimana
pendapat sebagian ulama. Kecuali bagi yang terbiasa berpuasa, maka dibolehkan
baginya berpuasa meskipun setelah pertengahan Sya’ban.”
Kesimpulan jawabannya adalah bahwa larangan berpuasa
dipertengahan kedua bulan Sya’ban dianggap makruh, bukan haram,
kecuali bagi yang biasa berpuasa atau ingin menyambung puasa yang telah
dia lakukan sejak sebelum pertengahan bulan.
Hikmah Di Balik Larangan Mendahulu Berpuasa
Sunnah Sebelum Ramadhan
Hikmah dari larangan ini, bahwa menyambung berpuasa dapat
melemahkan dirinya untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Jika ada yang mengatakan
bahwa jika berpuasa dari awal bulan, mungkin dia lebih lemah lagi!
Maka jawabannya adalah bahwa orang yang telah berpuasa sejak
awal bulan, maka dia telah terbiasa berpuasa sehingga kelemahan akibat berpuasa
akan berkurang.
Al-Qori berkata, "Larangan (yang terdapat dalam hadits)
condong bermakna boleh, sebagai bentuk kasih sayang kepada umat agar
tidak lemah dalam melakukan kewajiban puasa Ramadan, sehingga dapat
melaksanakannya dengan semangat. Adapun bagi orang yang telah banyak berpuasa
di bulan Sya’ban, maka dia telah terbiasa sehingga hilanglah rasa berat
itu."
Wallallahu A’lam bish Showab.
Artikel ini diambil alih bahasa dari situs islamqa.info
No comments