Read More

Haruskah Seorang Mukallaf Ber-Madzhab?

 


Pendahuluan

Keberadaan madzhab dalam dunia fikih Islam melahirkan corak yang beraneka ragam di kalangan kaum muslimin. Hal ini amat kentara di saat perbedaan umat Islam dalam menjalankan ritual peribadatan. Masing-masing penganut madzhab mempunyai metode dan cara tersendiri dalam prakteknya, namun hal ini bukan semata-mata karena berdasarkan kehendak dan kecenderungan, tidak lain karena masing-masing madzhab berbeda dalam memahami dalil-dalil syar’I untuk menyimpulkan sebuah hukum syar’i.

Madzhab-madzhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali sudah sangat masyhur di kalangan kaum muslimin. Masing-masing dari mereka mempunyai metode tersendiri dalam memahami dan ber-istinbath (menyimpulkan) untuk sebuah hukum syari’i.

Maka yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah setiap dari kita diperbolehkan menjalankan aktivitas ibadah sesuai dengan yang kita pahami dan pelajari tanpa mengacu pada apa yang telah dirumuskan oleh madzhab-madzhab di atas? Atau apakah kita harus mengikuti pendapat para ulama madzhab lalu menisbatkan diri kita sebagai pengikut madzhab tersebut? Simak penjelasannya sebagai berikut :

Kondisi Kaum Muslimin Memahami Syari’at

Sebagai seorang hamba mukallaf yang dituntut menjalankan syari’at Islam sesuai dengan tatacara yang sudah digariskan, sebenarnya tidak ada kewajiban untuk mengikuti pendapat madzhab tertentu dari madzhab-madzhab yang ada. Karena masyarakat kaum muslimin bertingkat-tingkat dalam hal pengetahuan, pemahaman dan kemampuan menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syari’I yang ada.

Di antara mereka ada yang diperbolehkan untuk melakukan taklid (meniru pendapat ulama untuk suatu hukum syar’i), bahkan bisa jadi hukum taklid tersebut menjadi wajib baginya, namun bagi kalangan lainnya tidak diperbolehkan kecuali dengan mengetahui dalilnya.

Yang Perlu Diketahui Mengenai Mujtahid dan Para Imam Empat Madzhab

Keempat imam madzhab yaitu : imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal telah mengambil fikih dari Al-Qur’an dan Sunnah, mereka semua adalah para mujtahid. Jika ushanya dalam berijtihad bisa benar, maka akan mendapatkan pahala; pahala dari hasil ijtihadnya dan pahala benar ijtihadnya. Dan bila ternyata salah, maka dia tetap mendapatkan pahala dari hasil usahanya untuk berijtihad sedangkan kesalahannya dimaafkan.

Yang Diperbolehkan Melakukan Ijtihad

Seorang yang mempunyai kapabelitas untuk melakukan istinbath al-ahkam (menyimpulkan hukum dari dalil syar’i), maka hendaknya ia melakukannya sebagaimana orang-orang sebelumnya juga telah melakukannya, dia tidak diperkenankan untuk bertaklid (meniru tanpa tahu dalilnya) pada saaat kebenaran ada di sisi lainnya. Akan tetapi ia harus mengambil yang diyakininya sebagai kebenaran, dan ia diperbolehkan melakukannya taklid pada saat ia lemah dan membutuhkan saja.

Bagi siapa saja yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad, maka diperbolehkan untuk bertaklid pada seseorang yang dia merasa tenang Bersama pendapatnya, jika dia tidak merasa tenang hendaknya bertanya sehingga merasa tenang.

Dengan demikian, telah jelas bahwa pendapat mereka tidak bisa diikuti dalam segala kondisi dan waktu; karena mereka bisa jadi salah, akan tetapi yang diikuti adalah kebenaran dari pendapat mereka yang berdasarkan dengan dalil. (Fatwa Lajnah Daimah : 5/28)

Dalam Fatwa Lajnah Daimah juga ditambahkan :

“Barang siapa yang mempunyai keahlian untuk menyimpulkan hukum dari Al Qur’an dan Sunnah, mampu melakukannya meskipun berbekal dengan perbendaharaan fikih yang telah diwariskan oleh ulama terdahulu, maka hal itu boleh dilakukan; diamalkan untuk dirinya sendiri, memutuskan perselisihan dan untuk memberi fatwa kepada mereka yang meminta fatwa. Dan barang siapa yang tidak mempunyai kemampuan itu, maka dia wajib bertanya kepada orang-orang yang amanah dan bisa dipercaya; agar mengetahui hukum dari buku-buku mereka dan mengamalkannya tanpa adanya keterikatan antara pertanyaan dan bacaannya dengan ulama tertentu dari ulama empat madzhab, masyarakat banyak merujuk pada empat madzhab karena mereka sudah masyhur, kitab-kitab mereka pun terpercaya, sudah menyebar kemana-mana dan keempatnya mudah (dijangkau) oleh ummat.

Tidak Ada Keharusan Bertaklid Kepada Empat Madzhab

Barang siapa yang mewajibkan bertaklid bagi mereka para pelajar (ilmu syar’i) tanpa terkecuali, maka dia telah melakukan kesalahan, beku, berburuk sangka kepada semua para pelajar tersebut, dan dia telah mempersempit ruang yang luas.

Dan barang siapa yang berkata bahwa taklid hanya berlaku pada empat madzhab yang terkenal itu saja, hal itu juga merupakan sebuah kesalahan, dia telah mempersempit ruang yang luas tanpa dalil, tidak ada perbedaan antara seorang yang ummi (tidak membaca dan menulis) dengan seorang yang fakih dari para imam empat madzhab dan yang lainnya, seperti imam Laits bin Sa’d, Al Auza’i, dan lain sebagainya dari para ahli fikih”. (Fatawa Lajnah Daimah: 5/41)

“Tidak satu pun dari mereka mengajak kepada madzhabnya, dan tidak berta’asub kepadanya, tidak juga mewajibkan orang lain untuk mengamalkan madzhab tertentu, akan tetapi mereka semua mengajak untuk mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah, mereka menjelaskan nash-nash agama, menjelaskan kaidah-kaidahnya, menentukan cabang-cabangnya, mereka berfatwa dengan apa yang mereka tanyakan tanpa mewajibkan salah satu dari murid-murid mereka atau yang lainnya untuk mengikuti pendapat mereka, bahkan mereka mencela orang-orang yang melakukan hal itu. Mereka menyuruh untuk membuang pendapat mereka jika bertentangan dengan hadits yang shahih, salah seorang mereka berkata: “Jika hadits itu shahih maka itu adalah madzhabku”. semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada mereka semua.

Tidak diwajibkan bagi seseorang untuk mengikuti salah satu madzhab yang ada, akan tetapi dia harus berijtihad untuk mengetahui kebenaran jika memungkinkan, atau meminta pertolongan kepada Allah dalam hal ini kemudian dengan bekal ilmiyah yang menjadi peninggalan ulama Islam terdahulu bagi para generasi berikutnya, mereka telah memudahkan jalan bagi generasi penerusnya untuk memahami nash-nash dan menerapkannya. Dan bagi siapa saja yang tidak mungkin untuk menyimpulkan hukum-hukum syari’at dari nash-nash yang ada atau yang serupa dengannya; karena sesuatu yang menghalanginya maka dia harus bertanya kepada para ahlinya yang terpercaya sesuai dengan hukum syari’at yang dibutuhkan, berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:

" فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَاتَعْلَمُوْنَ "

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”. (QS. Al Anbiya’: 7)

Maka dari itu dalam bertanya dia harus mencari orang yang terpercaya, terkenal keilmuannya, keutamaan, ketaqwaan dan keshalihannya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 5/56)

Madzhabnya imam Abu Hanifah –rahimahullah- bisa saja termasuk madzhab yang paling banyak penyebarannya di kalangan umat Islam; di antara sebabnya adalah karena para kholifah Turki Utsmani mengamalkannya, mereka telah berkuasa selama lebih dari 6 abad, hal itu tidak serta merta menjadikan madzhab Abu Hanifah – rahimahullah - termasuk madzhab yang paling benar atau semua bentuk ijtihad mereka adalah benar, akan tetapi madzhab Abu Hanifah sama dengan madzhab lainnya bisa benar dan bisa salah. Yang menjadi kewajiban bagi seorang mukmin adalah mengikuti kebenaran tanpa melihat siapa yang menyampaikan. Wallahu A’lam Bish Showab.

 

 

No comments