Merdeka dari Belenggu Syubhat dan Syahwat
Sejarah mencatat bahwa tanggal 17 bulan Agustus telah dinobatkan sebagai hari memperingati kemerdekaan Republik Indonesia setelah tujuh puluh tujuh tahun semenjak proklamasi dideklarasikan tahun 1945 Masehi. Kemerdekaan itu akhirnya diperingati tiap tahunnya untuk mengenang jasa para pejuang negara ketika mengusir penjajah.
Nyamannya hidup dalam atmosfer kedamaian ini merupakan buah
dari hasil pengorbanan para pejuang tanah air dalam membela dan menjaga
martabat bangsa dan negara Indonesia. Bila
mereka belum bisa menikmati manisnya kemerdekaan yang mereka perjuangkan,
tentunya mereka menyimpan harapan untuk kesejahteraan anak cucu mereka.
Kehidupan yang nyaman dan tenteram pasca kemerdekaan tentu
menjadi idaman setiap masyarakat, namun sebagai seorang muslim perlu tahu bahwa
karunia kenyamanan dan tenteramnya hidup berbanding lurus dengan nilai keimanan
dan ketakwaan suatu kaum. Sebagai contoh kita dapat bercermin pada kisah kaum
saba’ yang terabadikan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut :
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آَيَةٌ
جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (15) فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ
سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ
خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (16)
“Sungguh pada kaum Saba’
ada tanda (kebesaran Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu : dua buah kebun
di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah kaliman
dari rezeki yang dianugerahkan oleh Rabb kalian dan bersyukurlah kepada-Nya. Negerimu
adalah negeri yang baik (nyaman) sedangkan (Rabb kalian) adalah Rabb Yang Maha
Pengampun.” (QS. Saba’ : 15)
Kenyamanan yang dirasakan kaum Saba’ dijelaskan dalam sebuah
tafsir ayat di atas, bahwa tanahnya subur, tidak ada nyamuk, lalat, kutu,
kalajengking, maupun ular, sampai bila ada orang asing yang melewati negeri
tersebut sedangkan pada pakaiannya ada kutu, maka akan mati seketika
dikarenakan udaranya yang sejuk. (Tafsir Jalalain, vol. 3, hal. 132)
Dalam tafsir yang lain juga disebutkan bahwa Allah telah mengirim
tiga belas Nabi untuk mendakwahi kaum Saba’. Namun justru mereka mendustakan
para utasan tersebut dan bermaksiat kepada Allah, karena itu akhirnya Allah
turunkan bencana, seperti dalam lanjutan firman-Nya yang berbunyi :
فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ
الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ
وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ
“Tetapi mereka berpaling, maka Kami (Allah) kirimkan kepada
mereka banjir yang besar dan kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun
yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsl, dan sedikit dari pohon
sidr.” (QS. Saba’ : 16)
Ayat di atas menjadi pelajaran bagi kita, bahwa karunia
kemerdekaan dan kenyamanan hidup setelahnya harus tetap terjaga dengan tetap
terjaganya keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karena yang demikian itulah keberkahan hidup akan senantiasa tercurahkan kepad kita,
sebagaimana Allah berfirman :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan sekiranya
penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami (Allah) akan melimpahkan
keberkahan dari langit dan bumi kepada mereka, tertapi ternyata mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf : 96)
Dari ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sebuah
pelajaran bagi manusia, bahwa bila suatu negeri menginginkan keberkahan dan
dilimpahkan banyak rizki, maka hendaknya berbekal iman dan takwa sebagai
jaminan. Namun bila enggan melaksanakan hal tersebut, maka akibatnya Allah
cabut keberkahan tersebut dan akan menerima akibat dari dosa yang manusia
perbuat.
Merdeka dari Jajahan Hawa Nafsu
Dalam peribahasa latin, sejarawan dunia mengutip sebuah
perkataan “Si vis pacem, para bellum” yang artinya, “Jika engkau mendambakan
perdamaian, maka bersiap-siaplah menghadapi perang”. Slogan tersebut harusnya
menyadarkan generasi sekarang bahwa kemerdekaan yang selama ini peringati,
belum benar-benar tercapainya kedamaian dan kesejahteraan hidup.
Kemerdekaan yang seringkali kita maknai dengan tidak adanya
penjajahan fisik, penganiayaan dan tindakan zalim bahkan konfilik perang dengan
bangsa asing barangkali sudah tidak kita temui lagi di era sekarang. Namun sejatinya
masih berlanjut dengan model dan cara yang berbeda.
Sebagai bangsa yang perjuangannya merebut kemerdekaan harus
berkorbankan tetesan keringat dan darah bahkan nyawa, sungguh naif bila
ternyata pasca kemerdekaan itu dinikmati dan diisi oleh generasi yang tidak mau
meneladani pendahulunya, karena tergoda dengan buaian dunia yang memuaskan para
pemuja syahwat.
Bila kita mencermati keadaan kita sekarang, maka penjajahan di era modern dewasa ini sudah
berevolusi menjadi penjajahan karakter dan moral anak bangsa sehingga mengalami
kemunduran akhlak dan budi pekerti sebagai manusia yang bermartabat.
Betapa tidak, generasi muda sekarang ini sudah disuguhkan
banyak godaan fitnah syahwat dan syubhat melalui tontonan dan pergaulan yang
memanjakan para penganut hawa nafsu. Hal ini tidak lain karena jauhnya mereka
dari ajaran Islam yang benar dan enggan untuk melaksanakan tuntunan syari’at.
Sungguh bisa dikatakan miris orang-orang yang terdampak
krisis moral, bahkan diri kita sendiri sangat berpotensi terpengaruh oleh godaan
fitnah syahwat dan syubhat. Artinya ; bila kita masih terlena dengan fitnah
syahwat dan syubhat ini berarti kita masih terjajah dan dikendalikan oleh hawa
nafsu kita sendiri.
Orang yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya pada jalan
yang benar, pasti hatinya akan lebih cenderung mengikuti kejelekan, hingga
dampaknya ia melakukan perbuatan yang menyimpang agama dan mencoreng
kehormatannya.
Jiwa yang merdeka pasti mempunyai kecerdasan untuk melakukan
tindakan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya sendiri maupun orang lain,
karena kekuatan ruhnya membawa energi positif untuk senantiasa memperbaiki diri
dan menjadikan orientasinya bermaslahat untuk kehidupan selanjutnya. Berbeda dengan
orang yang menuruti hawa nafsunya, ia tidak layak dianggap sebagai jiwa merdeka
apalagi untuk kemajuan dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ،
وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
”Orang yang pandai adalah yang
menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah
kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa
nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadits jelaskan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsunya
dikatakan sebagai orang yang lemah, karena tidak mempunyai prinsip hidup yang
menuntutnya ke jalan yang benar, bahkan orang yang lemah karena mengikuti hawa
nafsunya aktivitasnya banyak dinaungi oleh angan-angan yang tidak jelas.
Bekal Melawan Hawa Nafsu dan Syubhat
Dalam Al-Qur’an dan Hadits banyak menyebutkan bahaya fitnah
hawa nafsu dan syubhat. Orang yang menuruti hawa nafsunya ia akan mudah
dikendalikan oleh hawa nafsunya dan diarahkan kepada hal-hal yang tercela,
sedangkan orang yang tidak berhati-hati dalam perkara syubhat, ia akan mudah
terjerumus kepada sesuatu yang diharamkan syari’at. Karenanya Islam memberikan
solusi menghadapi tantangan dua fitnah tersebut.
Seseorang yang mendapati dirinya dalam keadaan menghadapi
syubhat hendaknya dia meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan darinya
dan memohon agar diteguhkan hatinya kepada keimanan yang bisa menghalangi dia
dari syubhat.
Penyakit syubhat ini timbul pada diri seseorang disebabkan
karena lemah imannya, sehingga penawar yang pertama kali diberikan kepada orang
yang diuji dengan syubhat, keragu-raguan, was-was, dan sesuatu yang merugikan
dalam hatinya untuk segera berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dari hal tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ
الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu godaan, maka
mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Mendengar, lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Fushilat : 36)
Kiat-kiat Melawan Syubhat
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk meminta
perlindungan kepada-Nya jika terjadi syubhat dalam dirinya, maka dengan
memperbanyak meminta perlindungan, karena sesungguhnya Allah pasti akan
melindungi orang yang meminta perlindungan pada-Nya.
Kedua, ketika mendapati syubhat dalam diri adalah segera
mengambil langkah menjauhi syubhat dari dirinya. Jika syubhat itu ada melalui
teman duduk dekat yang buruk, maka menjauhi dia dan jangan berteman duduk
dengannya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita ketika ingat
Allah untuk meninggalkan hal-hal yang tidak pantas bagi kita saat berada dalam
majelisnya orang-orang yang zalim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ
فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan jika syaitan benar-benar menjadikanmu lupa (akan
larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama orang-orang
yang zalim.” (QS. Al-An’am : 68).
Maka dari ayat di atas bisa diambil pelajaran bahwa seseorang
tidak boleh duduk bermajelis di majelis-majelis yang bisa menimbulkan syubhat
sehingga melemahkan imannya.
Langkah ketiga yang bisa membantu mengusir syubhat dalam diri
adalah dengan mengerjakan hal-hal yang bisa menambah keimanan. Di antara yang
paling memberikan pengaruh adalah dengan membaca dan mentadabburi Al-Qur’an. Yaitu
dengan meluangkan waktu untuknya, mempercayai kalam-Nya, merasa bahwa seakan
Allah mengajak bicara kepada kita, memanggil kita, dan memberikan wasiat kepada
kita. Karena Al-Qur’an ini yang terkandung di dalamnya hujjah (pembela) bagi
kita dan juga ayat-ayat tanda kebesaran-Nya. Maka dengan hujjah dan ayat ini
bisa menguatkan hati dan menjadikannya sebagai perisai dan kekuatan melawan
syubhat di dalam hati.
Kiat-kiat Menundukkan Syahwat
Adapun untuk fitnah syahwat yang melanda jiwa seseorang, maka
hal yang pertama kali diambil tindakan adalah dengan mengetahui sebab-sebabnya
terlebih dahulu. Jika sebab-sebab tersebut memberikan pengaruh pada syahwat, maka
jauhilah dan tundukan pandangan pada hal yang haram, juga menjauhi dari
mendengarkan kata-kata keji dan berdosa.
Selanjutnya jadikanlah segala tindak-tanduk kita selamat dari
hal-hal yang berpotensi menimbulkan keraguan dan fitnah. Karena dengan demikian
Allah akan jaga hati kita. Jika ada seseorang yang mampu menjaga pendengaran
dan penglihatannya, maka Allah akan jaga dia dari godaan syahwat, sehingga
tidak ada celah bagi syaitan untuk menggodanya dan menautkan hatinya dengan
syahwat. Jika sudah demikian, maka hendaknya maka langkah selanjutnya adalah
dengan mengerjakan hal-hal yang bisa menambah keimanan sehingga kuat untuk jauh
dari syahwat.
Sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya durhaka kepada kedua
orang tua, memutus tali shilaturrahmi termasuk faktor terbesar manusia
terjerumus pada wabah penyakit syahwat dan syubhat. Oleh karena itu, hendaknya
seseorang menjauhi hal-hal yang bisa menjadikan durhaka kepada orangtua,
tindakan aniaya kepada mereka, serta dari tindakan memutus tali shilaturrahmi. Karena
Allah Subhanahu wa Ta’al berfirman :
فَهَلْ عَسَيْتُمْ اِنْ تَوَلَّيْتُمْ
اَنْ تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَتُقَطِّعُوْٓا اَرْحَامَكُمْ (22) اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ
فَاَصَمَّهُمْ وَاَعْمٰٓى اَبْصَارَهُمْ (23)
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu
akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka
itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan
dibutakan penglihatannya.” (QS.
Muhammad : 22-23)
Salah seorang ulama tafsir memberikan
keterangan, bahwa jika Allah telah membuat tuli pendengaran mereka maka artinya
mereka tidak akan bisa mengambil manfaat dari sebuah nasehat, dan jika telah
Allah butakan penglihatan mereka maka mereka tidak akan mendapatkan petunjuk meskipun
dengan kearifan mereka.
Apa Hubungan Melawan Nafsu dan Syubhat dengan Kemerdekaan?
Sudah seharusnya kita mengambil pelajaran, bahwa untuk memakmurkan
dan mensejahterkan kehidupan masyarakat setelah Allah karuniakan nikmat
kemerdekaan ini, tentu harus dimulai dari setiap anggota masyarakat. Yaitu dengan
berbenah diri, mensucikan jiwa dengan ketaatan, dan menjauhi segala bentuk
kemaksiatan. Sehingga apa yang menjadi tujuan masing-masing bukan beranjak dari
keinginan menuruti kehendak hawa nafsunya yang cenderung mengajak kepada
kejelekan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ لَمْ يَكُ
مُغَيِّرًا نِّعْمَةً اَنْعَمَهَا عَلٰى قَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا
بِاَنْفُسِهِمْۙ وَاَنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌۙ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum
itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 53)
Semoga kita selaku hamba yang beriman selalu diberi petunjuk
untuk menjadi pribadi dengan jiwa yang bersih dan saling mengingatkan dalam
kebaikan demi terciptanya keberkahan di negeri ini. Aamiiin.
Oleh : Azzam Akhukum Fillah
No comments