Read More

Mewaspadai Dogma di Balik Toleransi Beragama



Dalam perspektif Islam, sikap saling menghormati, menghargai, dan berbuat baik kepada sesama menjadi sebuah akhlak yang sangat ditekankan untuk dimiliki oleh setiap pribadi muslim. Bahkan tidak hanya kepada sesama muslim, Islam juga menekankan untuk senantiasa berbuat baik kepada semua makhluk, termasuk kepada non-muslim sekalipun. Karenanya Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mewajibkan supaya selalu bersikap baik terhadap setiap sesuatu, jika kamu membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaknya salah seorang di antara kalian untuk menajamkan pisaunya, dan enakkanlah penyembelihannya.” (HR. Muslim, no. 1955)

 

Maka apabila berbicara tentang konteks kerukunan antar-umat beragama, Islam bertolak belakang dengan ide dan paradigma selama ini. Karena pada hakekatnya propaganda tersebut adalah upaya menjauhkan umat dari konsep dasar Islam tentang kerukunan beragama, yakni; “Tidak ada paksaaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah : 256) Dan juga prinsip dasar ajaran Nabi shallallahu‘alaihi wasallam “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami.”(QS. Al-Kafirun : 6).


Prof. Buya Hamka ketika mejelaskan tafsir ayat kesembilan dalam surah al-Mumtahanah pada Tafsir al-Azhar mengkritik keras ucapan sebagian orang yang mengatakan, “Bagi saya segala agama itu adalah sama saja karena sama-sama baik tujuannya.” Terhadap orang yang semacam ini, Hamka menegaskan pendiriannya : “Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam.


Fenomena yang terjadi dewasa ini, toleransi antar umat beragama cukup menjadi topik hangat tiap tahunnya yang membicarakan perihal seorang muslim ikut berpartisipasi dalam acara perayaan hari raya non-muslim. Padahal dalam kacamata Islam, ikut serta atau hanya sekedar mengucapkan selamat hari raya mereka dengan mengatasnamakan toleransi Islam dan maslahat dakwah, sungguh sudah merupakan bentuk perwalian kepada mereka yang diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ menurut kalangan ahli ilmu (Syahatah Muhammad Shaqr, ar-Rad ‘alā al-Lam’i, hlm. 64)


Gaung toleransi antar umat beragama belakangan ini makin disemarakkan dengan dalih menjaga persatuan negara. Namun pada akhirnya kini menjadi dogma yang justru mengesampingkan prinsip dasar akidah seorang muslim dan kemurniaan ajaran Islam. Inilah mengapa Syaikh Muhammmad Said al-Qahthani memasukan pembahasan ini pada pasal “ Interaksi Kaum Muslimin dengan Non-Muslim “ yang mempunyai relevansi yang cukup berpengaruh pada toleransi beragama dalam kitabnya ‘al-Walā’ wa al-Barā’ fī al-Islām min Mafāhīm ‘Aqīdah as-Salaf.


Dalam kitab tersebut beliau menjelaskan bahwa tujuan di balik ide kerukunan dan toleransi beragama yang mereka dengungkan adalah, lenyapnya ciri khas seorang Muslim dari penganut agama lainnya dan meleburnya kepribadian seorang Muslim di tengah arus propaganda yang penuh dengan syubhat ini. (Muhammad Said al-Qahthāni, al-Walā’ wa al-Barā’, (Riyadh: Dār Thayyibah, cet. I, tt), hlm. 344)

Hari raya merupakan bagian dari syari’at, manhaj, dan ibadah. Sebagaimana difirmankan Allah ta’ala :

 

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً

“Untuk setiap umat di antara kamu, kami berikan syari’at dan jalan  yang terang.”(QS. Al-Maidah : 48)

 

Maka tidak ada perbedaan antara partisipasi dalam hari raya dengan partisipasi dalam manhaj-manhaj yang lain, karena kesamaan dalam segala bentuk hari raya itu merupakan tasyabuh dalam kekufuran. Sedangkan tasyabuh dalam sebagian cabang hari raya itu adalah tasyabuh dalam sebagian cabang kekufuran. Bahkan, hari raya merupakan ciri yang spesifik dari suatu syari’at, dan termasuk syiarnya yang paling nyata. Dengan begitu, maka kesamaan dalam hari raya merupakan tasyabuh dalam syari’at kekafiran yang paling spesifik dan syiar yang paling jelas. (Muhammad Said al-Qahthani, al-Walā’ wa al-Barā’ fī al-Islām min Mafāhīm ‘Aqīdah as-Salaf.. hlm. 332)

Demikianlah umat ini diuji dengan pengaruh tasyabuh terhadap Yahudi dan Nasrani dalam aspek peribadahan, adat, tingkahlaku, dan akhlak mereka. Sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu‘alaihi wasallam :

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

"Sungguh, kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk liang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka." Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, Yahudi dan nasranikah?" Nabi menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka?" (HR. Al-Bukhari no. 7320, dan Muslim no. 2669)


Di antara dail al-Qur’an juga yang menunjukkan larangan bertasyabuh dengan mereka dalam segala kondisi adalah firman Allah ta’ala  :

 

فَاسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Yūnus : 89)

Termasuk juga firman Allah yang berbunyi :

 

وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ

“Dan janganlah mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”( QS. al-A’rāf, : 142)

Dan dipertegas lagi dengan firman-Nya :

 

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami Biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami Masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisā’: 115)

 

Semua ayat-ayat ini menegaskan bahwa menyelisihi orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka merupakan perkara yang disyariatkan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Iqtidha’ ash-Shirāth al-Mustaqīm li Mukhālafah Ashāb al-Jahīm, vol. 1, hlm. 102)

Adapun Sunnah Nabawiyah telah menyebutkan banyak nash tentang pembahasan ini. Di antaranya :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Abu Daud no. 4031, Ahmad no. 5114. Menurut Syaikh Muhammad Syakir sanad hadits ini shahih, demikian juga menurut Al-Albani dalam Shahīh al-Jāmi’ ash-Shaghīr).

Mengenai hadits ini, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkomentar, “Sanadnya jayyid (baik), dan setidak-tidaknya hadits ini menunjukkan pengharaman tasyabuh dengan mereka (orang-orang kafir), meskipun zahirnya menunjukkan kafirnya orang bertasyabuh. Sebagaimana yang terdapat pada firman Allah ‘azza wa jalla :

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Barang siapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” (QS. al-Māidah : 51)

Nash-nash Sunnah dan yang lainnya bertujuan “menutup jalan” (sadd adz-dzarī‘ah) tasyabuh, karena tasyabuh pada zahirnya adalah jalan yang menghantarkan kepada penyerupaan dalam niat dan perbuatan. (Ibnu Qayyim al-Jauzi, I’lām al-Muwaqqi’īn, vol. 3, hlm. 112)

Sudah banyak nash-nash berupa ayat, dan hadits, bahkan kesepakatan ulama’ atas keharaman mengucapkan selamat kepada orang kafir sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam kitabnya Ahkām Ahl adz-Dzimmah yang berbunyi :

"Adapun memberi selamat terhadap perayaan-perayaan kufur yang khusus maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan (para ulama) seperti seseorang (muslim) memberi selamat kepada mereka (orang-orang kafir) atas perayaan-perayaan mereka. Maka ia berkata "Perayaan yang diberkahi atasmu…" atau "Selamat gembira dengan perayaan ini" atau yang semisalnya. Maka perbuatan seperti ini –kalau pengucapnya selamat dari kekufuran- maka perbuatan ini merupakan keharaman, dan kedudukannya seperti jika ia memberi ucapan selamat kepada orang yang sujud ke salib. Bahkan hal ini lebih parah dosanya di sisi Allah dan lebih di murkai dari pada jika ia mengucapkan selamat kepada orang yang minum khomr (bir) atau membunuh orang lain, atau melakukan zina dan yang semisalnya." (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ahkām Ahl Adz-Dzimmah,.. vol. 1, hlm. 441)

Lebih dari itu beliau juga memberikan peringatan keras agar berhati-hati dari pengaruh gaya hidup orang kafir, karena dalam hal ini banyak orang yang tidak memiliki ilmu agama yang cukup terjerumus dalam hal ini, dan mereka tidak tahu akan buruknya perbuatan mereka. Barang siapa memberikan ucapan selamat kepada seseorang atas perbuatan maksiat, bid’ah, atau kekafirannya, maka dia telah mengundang murkan Allah ‘azza wa jalla.

Para ulama yang wara’ senantiasa menghindar dari memberikan ucapan selamat kepada orang-orang lalim atas jabatan yang mereka peroleh. Mereka menghindar dari memberi ucapan selamat kepada orang-orang bodoh yang memperoleh jabatan hakim, pengajar, atau mufti. Ini semua demi menjauhi murka Allah ‘azza wa jalla dan jatuhnya harga diri mereka. Namun, jika seseorang dalam tekanan, kemudian dia melakukannya karena menghindari kemungkianan datangnya kejahatan dari mereka, dia menghampiri mereka dan mengatakan yang baik-baik serta mendo’akan mereka agar memperoleh taufik dan hidayah, maka yang seperti ini tidak mengapa. (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ahkām Ahli Adz-Dzimmah, vol. 1, hlm. 441). 

Maka setelah mengetahui bahwa dogma toleransi yang menjalar belakangan ini begitu berbahaya dan bisa menciderai keyakinan seorang muslim, maka sudah sepantasnya kita mengambil langkah untuk senantiasa mewaspadai arah pemikiran tersebut dan berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar dijauhkan darinya. Wallahu ‘Alam bish Showab.


Gunungmadu, 24 Desember 2021

akhukum Fillah, Azzam Elmahdie (K15 DS)


No comments