Renungan Di Balik Musibah
Wajah dunia Islam di nusantara beberapa hari ini dihebohkan dengan berita ‘Erupsi Gunung Semeru’ di Lumajang Jawa Timur yang ramai menjadi tontonan pengguna media sosial, maupun yang menyaksikan kejadiannya secara langsung.
Masyarakat
pada umumnya pun menanggapi fenomena tersebut dengan berbagai macam. Ada yang
mengkaitkannya dengan sosok penunggu gunung yang ngamuk, ada yang mempercayai
ramalan mitos keyakinan leluhur, ada juga yang menanggapinya kejadian tersebut
merupakan musibah yang Allah timpakan guna menguji keimanan hambanya, bahkan
ada yang mengkaitkan kejadian tersebut karena murni secara alamiyah yang
berdasarkan ilmu geofisika dan lain sebagainya.
Bagi
setiap muslim yang beriman, tentanyu peristiwa alam tersebut menjadi renungan
bagi dirinya untuk mentadabburi ayat-ayat kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala
yang tersampaikan dalam Al-Qur’an, maupun yang tersirat di antara ayat-ayat kauniyah-Nya
di sekitar kita. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman :
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ
أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka
adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian
besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." [ QS. Asy-Syura : 30 ]
Jumhur
ahli tafsir menafsirkan ayat di atas bahwa, sesuatu yang menimpa manusia berupa
kejelekan disebabkan oleh tingkah kemaksiatan yang diperbuatan oleh manusia itu
sendiri. (Tafsir Fathul Qadir, vo. 6, hlm. 363)
Al-Alusi
dalam tafsirnya Ruhul Ma’ani mengutip satu riwayat yang juga diriwayatkan
oleh Ibnul Mundzir dan Jama’ah dari Al-Hasan yang mengatakan, “Ketika Turun
ayat tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا مِنْ خَدَشِ عُوْدٍ
وَلاَ اخْتِلَاجِ عَرَقٍ وَلَا نَكْبَةِ حَجَرٍ وَلَا عَثْرَةِ قَدَمٍ إِلاَّ
بِذَنْبٍ وَمَا يَعْفُو اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ أَكْثَرُ
“Demi dzat yang jiwaku ada di tangannya, tidaklah ada dahan kayu pun
yang terkoyak, bergetarnya jasad, tertimpa batu dan terpelesetnya kaki, melainkan
karena dosa yang dilakukan. Dan Allah itu lebih Mengampuni daripada dosa
tersebut.” (Al-Alusi, Ruhul Ma’ani, vol. 18, hlm. 277).
Yang
perlu dipahami dari ayat di atas adalah bahwa meskipun Allah subhanahu wa ta’ala
menguji hamba-Nya dengan ditimpakannya musibah, tidak serta merta apa yang
Allah kehendaki adalah kejelekan untuk hamba-Nya. Melainkan untuk menyadarkan
dan menggiring umat manusia agar bertaubat atas segala dosa dan kembali kepada ampunan-Nya.
Mungkin
kita sering mendengar perkataan orang, “Allah menguji kita dengan musibah
pertanda bahwa Dia menyayangi hamba-Nya.” Bagi orang tidak yakin dengan
pertolongan Allah, pasti setidaknya akan beranggapan bahwa itu hanyalah bualan
belaka, nyatanya apa yang dimiliki dan yang disayang Allah ambil tanpa
memberikan pengganti.”
Cukuplah
kita sadar, bahwa di saat-saat seperti itulah setan mengambil peran membisiki
rasa pesimis dalam diri seseorang dan menggaungkan rasa pesimis dari rahmat Allah.
Sabar
yang terbaik dan tepat adalah kondisi sabar saat kejadian pertama kali
ditimpakan cobaan. Demikian yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan
kepada umatnya. Karena inilah karakter pilihan kebiasaan seorang mukmin dalam
menjaga dan menambah keimanannya untuk senantiasa dekat dengan Allah. Sebagaimana
Allah subhanahu wa ta’ala menguji hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak
disukai oleh hamba-Nya maupun yang disukai sekalipun. Hal itu tujuannya tidak
lain agar kembali pada-Nya :
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ
وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Dan
Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan(yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” [QS. Al-Anbiyaa’/21: 35]
Setiap
manusia pasti mengalami ujian dalam hidupnya. Sudah menjadi sifat dasar manusia
ketika ditimpa ujian semisal wabah, meninggalnya kerabat, hilangnya harta,
adalah akan memohon pertolongan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Manusia akan
mendekatkan diri kepada Allah dan berdoa agar musibah atau keburukan yang
menimpanya segera sirna. Baik dalam kondisi berbaring, berdiri, atau pun duduk,
manusia akan segera berdoa meminta keburukan yang menimpanya segera berakhir.
Akan
tetapi ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengakhiri keburukan, musibah
atau kemalangan yang dialami seorang manusia dan menggantinya dengan
kenikmatan, sebagian manusia justru
melupakan Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menyelamatkan dan
menolongnya keluar dari kesulitan. Lebih parah lagi, setelah kemalangan
berganti menjadi kenikmatan, hamba tersebut justru tenggelam dalam perbuatan
maksiat penuh dosa dan melupakan Allah.
Karakter
manusia semacam ini diterangkan Allah dalam firman-Nya yang berbunyi:
وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا
لِجَنْبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ
كَأَنْ لَمْ يَدْعُنَا إِلَىٰ ضُرٍّ مَسَّهُ ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan
apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring,
duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia
(kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa
kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah
orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka
kerjakan.” [QS. Yunus ; 12]
Memang
ada kalanya Allah subhanahu wa ta’ala menguji hamba-Nya dengan
menampakkan tanda-tanda kekuasaan-Nya melalui peristiwa di sekitar kita. Maka
barangsiapa yang merospon tanda-tanda tersebut dengan kembali kepada Allah,
baik bersyukur ketika waktu lapang dan bersabar ketika waktu sempit itu lah
yang paling beruntung di antara kita.
Karenanya salah satu tanda keimanan seseorang itu bertambah adalah senantiasa
mengingat Allah dalam keadaan lapang maupun sempit. Karena dengan menjadikan
keimanan tetap kokoh lebih baik daripada membiarkannya rapuh atau bahkan
hilang.
Maka
sebagai penghibur bagi siapapun di antara kita yang terkena musibah, alangkah
baiknya jika kita bisa merenungi perkataan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah untuk diambil hikmah di setiap kejadian
yang menimpa kita :
وَمُصِيْبَةٌ تُقْبِلُ بِكَ عَلَى اللهِ خَيْرٌ مِنْ
نِعْمَةٍ تُنْسِيْكَ عَنْ ذِكْرِ اللهِ
"Musibah
yang membuatmu kembali kepada Allah itu lebih baik daripada kenikmatan yang
membuatmu lupa dari mengingat Allah." [Jami'ul masa'il 9/387].
No comments