Read More

Hukum Mengerjakan Shalat Sunnah Fajar Setelah Shalat Subuh

 



Shalat sunnah dua rakaat fajar atau bisa disebut juga dengan qabliyah subuh, menjadi perhatian tersendiri bagi kaum muslimin untuk lebih giat  lagi dalam meningkatkan kualitas ibadah, yakni dengan memperbanyak amalan shalat sunnah rawatib. Terlebih shalat sunnah tersebut merupakan sunnah mu’akaddah (sunnah yang ditekankan) yang hampir tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan memiliki keutamaan yang besar, yaitu lebih baik daripada dunia dan seisinya. Berangkat dari keseriusan ini, sebagian kaum muslimin berlomba-lomba dan bersegera menghadiri shalat subuh tepat waktu agar bisa menunaikan shalat sunnah sebelumnya. Bahkan karena motif meraih kesempurnaan pahala, sebagian mereka yang berudzur tidak bisa melaksanakan shalat sunnah fajar sebelumnya, mereka mengerjakannya seusai shalat subuh. 

Fenomena seperti ini menjadi pembahasan menarik untuk dikaji, pasalnya ada hadits yang justru kontroversial menjelaskan larangan mengerjakan shalat setelah shalat fardhu subuh. Hal ini berdasarkan hadits :

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah shalat subuh sampai matahari mulai meninggi, dan tidak ada pula shalat setelah shalat ashar hingga matahari mulai tenggelam.” (HR. Bukhari, no. 586).

            Lantas bagaimanakah status hukum mengerjakan shalat sunnah fajar seusai mengerjakan shalat fardhu subuh? Apakah hal itu diperbolehkan demi meraih keutamaan shalat sunnah fajar yang ditekankan, atau justru lebih baik tidak mengerjakannya sama sekali dikarenakan mengamalkan hadits di atas?

            Perlu diketahui bahwa yang hal yang menyeret ke dalam ranah kontroversial dalam masalah ini adalah keberadaan hadits yang membolehkan mengerjakan shalat sunnah fajar setelah shalat subuh yang justru sekilas terlihat ber-ta’arudh (kontradiksi) dengan redaksi hadits di atas. Hadits tersebut diriwayatkan oleh sahabat Qais radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi :

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَصَلَّيْتُ مَعَهُ الصُّبْحَ، ثُمَّ انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَنِي أُصَلِّي، فَقَالَ: مَهْلاً يَا قَيْسُ، أَصَلاَتَانِ مَعًا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي لَمْ أَكُنْ رَكَعْتُ رَكْعَتَيِ الفَجْرِ، قَالَ: فَلاَ إِذَنْ.

 “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (untuk shalat jama’ah), maka dikumandangkanlah iqamah shalat, lantas aku shalat subuh bersama beliau, kemudian ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai dari shalat, beliau mendapatiku hendak mengerjakan shalat, maka beliau bersabda, “sebentar wahai Qais, apakah ada dua shalat yang dikerjakan secara bersamaan?”, maka aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku belum mengerjakan shalat dua rakaat sunnah fajar, lantas beliau bersabda, “Kalau begitu tidak mengapa.” (HR. At-Tirmidzi, no. 442).

Mengenai hadits di atas Imam Asy-Syafi'i mengatakan, “Dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya diam dan mengakui (membenarkan) perbuatan sahabat Qais radhiyallahu ‘anhu, dikarenakan dua rakaat fajar adalah hal yang ditekankan dan diperintahkan, sehingga shalat yang tidak boleh dikerjakan adalah bila larangan tersebut hanya pada waktu-waktu yang telah dilarang beliau, yakni sebagaimana yang telah saya jelaskan sifat setiap shalat yang tidak lazim dikerjakan. Maka adapun setiap shalat  yang sering dikerjakan seseorang lantas dia lalai mengerjakannya, atau karena sibuk, begitu juga setiap shalat yang ditekankan pelaksanaannya meskipun tidak sampai merupakan hal yang fardhu seperti shalat dua rakaat fajar dan shalaf gerhana, maka larangan Nabi pada apa-apa yang selain itu adalah tetap (eksis). “ (Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, Ikhtilaf al-Hadits, 8 / 616).

Dengan demikian, kedua dalil yang sekilas terlihat saling kontradiktif, dapat dikompromikan dan dicarikan mafhum makna yang sesuai dalam penerapan kedua dalil tersebut. Yaitu dengan menetapkan adanya larangan mengerjakan shalat sunnah apapun setelah shalat  subuh, sementara hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Qais radhiyallahu 'anhu yang membolehkan mengerjakan shalat sunnah fajar setelah subuh adalah sebagai pengecualian dari larangan tersebut, karena adanya faktor penekanan dan perintah agar tidak meninggalkan shalat sunnah fajar. Sehingga shalat sunnah yang dilarang dikerjakan setelah shalat subuh adalah selain shalat sunnah dua rakaat fajar.

Penyelesaian dua dalil yang sekilas terlihat kontradiktif di atas inilah yang disebut dengan metode al-Jam’u wa at-Taufiq (mengkompromikan dan mencari kesesuaian). Karena pada prinsipnya sejalan dengan kaidah fikih, “Mengamalkan dua dalil yang kontradiktif lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain.”

Hanya saja pendapat yang membolehkan mengerjakan shalat sunnah fajar setelah shalat subuh, para ulama' berbeda pendapat mengenai waktu pelaksanaannya. Sebagian ulama' ada yang berpedapat dikerjakan seusai shalat subuh, sebagaimana pendapat ini dipegang oleh 'Atha', Thawus, serta dalam riwayat Ibnu Umar dan Al-Muzanni. Sedangkan sebagian lain di-qadha' setelai matahari terbit sebagaimana pendapat yang dipegang oleh Al-Auza'i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsauri. (Ibnu Bathal Ali bin Khalaf, Syarh Shahih Al-Bukhari li Ibn Bathal, 3 / 149 –150). Wallahu A’lam.

 

Intisari :

·         Shalat sunnah seusai shalat subuh itu dilarang kecuali shalat sunnah fajar, karena ia termasuk sunnah yang ditekankan dan diperintahkan.

·         Shalat sunnah fajar hukumnya boleh dikerjakan seusai shalat subuh, baik dikerjakan langsung setelahnya atau setelah terbit matahari (waktu dhuha).

·         Mengerjakan shalat sunnah fajar sesudah shalat subuh adalah suatu hal yang pernah dilakukan oleh para salaf.

 

Author : Azzam Elmahdie

           

           

 

No comments