Kajian Maqashid Syari’ah : Keburukan Kehendak Siapa?
I.
Muqodimah
Di antara wacana yang mejandi
pembicaraan dan perdebadan di kalangan kaum muslimin dalam masalah akidah
adalah masalah takdir baik dan buruk. Karena Inilah yang seringkali disalah
pahami oleh sebagian kaum muslimin. Terlebih mereka yang menyandarkan segala
yang terjadi adalah atas kehendak Allah seperti halnya pemahaman yang diadobsi
sekte Jabariyah. atau bahkan menolak ketetapan takdir yang mereka klaim
bahwa semua makhluk tidak terkait dengan
kehendak dan takdir yang ditetapkan Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai
mana pemahaman yang diadobsi sekte Qodariyah. Sedangkan dalam hal ini Ahlu
Sunnah mensikapinya pertengahan,
tidak semua kehendak baik dan buruk yang terjadi pada makhluk dinisbatkan
kepada Allah Ta’ala yang memberikan kesan bahwa semua yang terjadi
adalah atas kehendak dan takdir Allah semata. Tidak pula menafikannya. Karena
setiap mukallaf diberi pilihan yang dengannya apakah ia akan menggunakannya di
jalan yang benar atau bahkan sebaliknya.
Seiring dengan sepeninggalnya kaum
salaf sholih sebaik-baik generasi, yakni
zaman di mana banyak para penduskusi yang berpaling dari pembahasan
seputar perubahan pemikiran Islam dan asal-muasal perbedaan manhaj yang terjadi
pada kelompok-kelompok Islam, di mana pemikiran mereka menjadi kacau, serta
semakin banyaknya jumlah kelompok-kelompok tersebut. Sehingga menjadi aib yang masuk
dan merusak ke utuhan Islam[1].
Sehingga berangkat dari pemahaman yang salah dan jauh dari makna yang
sebenarnya terutama mengenai Iradah Syar’iyah dan Iradah Kauniyah
, maka munculah paradigma yang rancu dan keliru yang mudah diadobsi oleh
kalangan orang awam yang belum kuat akidahnya.
Berangkat dari permasalahan di atas
menjadi polemic dan kajian yang mendorong penulis untuk membahas dan
mengkajinya. Adapun topic yang dibahas penulis dalam makalah ini lebih bersifat
spesifik dan khusus, yakni berkenaan dengan sebuah ungkapan “Kepada Siapakah
Kehendak Buruk Berpihak”.
II.
Pembahasan Masalah
A. Pengertian Iradah
Syari’iyah Dan Iradah Kauniyah
Berbicara mengenai kehendak buruk
berpihak kepada siapa, maka hal itu tidak terlepas dari pembahasan mengenai Iradah
Syar’iyah dan Iradah Kauniyah. Karena segala kejadian dan
peristiwa mempunyai keterkaitan dengan sebab-musabab dari makhluk dan juga
tidak kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala. Sehingga dengan demikian
pemahaman berkenaan dengan Iradah Syar’iyah dan Iradah Kauniyah
perlu diketahui lebih lanjut agar tidak menghasilkan pemahaman yang keliru dari
awal.
Para ulama’ pengkaji dan peneliti
dari kalangan Ahlu Sunnah menyimpulkan bahwa Iradah dalam kitabullah
ada dua macam, yaitu Iradah Qodariyah Kauniyah Khalqiyah dan Iradah
Diniyah Amriyah Syar’iyah.
Iradah Syar’iyah secara bahasa adalah
segala adalah segala hal yang mencakup rasa cinta dan keridhoan. Sedangakan Iradah
Kauniyah adalah kehendak yang mencakup segala apa yang ada.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلامِ
وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا
يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ [الأنعام:125]
“Barangsiapa Dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk),
Dia akan Membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa
Dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia Jadikan dadanya sempit dan sesak,
seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah Menimpakan siksa
kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am : 125).
Adapun
dalil yang menunjukkan Iradah Syar’iyah seperti dalam firman-Nya :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"Allah Menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak Menghendaki kesukaran bagimu." (QS.
Al-Baqarah : 185)
Maksud dari Iradah
yang tersebut di sini, sebagaimana apa yang dikatakan orang-orang kepada pelaku
kejelekan, “Perbutan yang dilakukan ini bukanlah yang dikehendaki Allah.”
Maksudnya adalah perbutan tersebut bukanlah yang dicintai, diridhoi, dan tidak
pula yang diperintahkan oleh-Nya[2].
Adapun maksud dari Iradah Kauniyah
yaitu Iradah yang sering disebut-sebut dalam perkataan kaum Muslimin
bahwa, “Apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki pasti terjadi, dan
apa yang Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi.”[3]
B. Perbedaan
antara Iradah Syar’iyah Dan Iradah Kauniyah.
Perbedaan
antara kedua Iradah di sini adalah; Bahwa Iradah Kauniyah pasti
ada maksud pada Iradah tersebut. Maka setiap apa saja yang dikehendaki
Allah baik itu ada sebab atau secara kebetulan, maka hal itu pastilah ada atau
terjadi. Hanya saja hal tersebut bisa jadi merupakan apa yang disukai oleh-Nya
atau tidak disukai.[4] Sedangkan
apa yang dikehendaki oleh-Nya secara Syar’i dan perhitungan-Nya, maka tidak
akan terjadi.
Dengan
demikian, maka ketaatan kepada Allah dan amal sholeh yang dikehendaki oleh-Nya
merupakan apa yang dikehendaki oleh-Nya secara syar’i dan perhitungan-Nya untuk
semua makhluk yang Allah sukai dari mereka. Akan tetapi hal itu terkadang
terjadi pada sebagian makhuk dan tidak terjadi pada sebagian yang lain.[5]
1. Dalam Iradah
qadariyah tidak selalu berkaitan dengan kecintaan dan keridlaan-Nya. Seluruh
kejadian yang terjadi di alam ini baik yang diridlai atau yang tidak
diridlai-Nya seperti ketaatan dan kemaksiatan, keimanan dan kekafiran adalah
merupakan kehendak Allah Ta’ala. Karena kadang-kadang Allah juga
menghendaki terjadinya sesuatu yang tidak diridlai-Nya, seperti menciptakan
iblis, menghendaki adanya kekafiran dan kemaksiatan. Hal ini Allah kehendaki
karena adanya suatu hikmah yang Allah kehendaki pula.
Adapun dalam Iradah Syar’iyah selalu
berkaitan dengan masalah kecintaan dan keridlaan-Nya. Apa yang dikehendakinya
dalam syari’at adalah apa yang diridlai-Nya. Apa yang Allah perintahkan,
seperti ketaatan, rasa syukur, amal shalih dan lainnya adalah merupakan hal
yang dicintai dan diridlai-Nya. Sebaliknya apa yang Allah larang seperti
kemasiatan dan kekafiran adalah merupakan hal yang dibenci-Nya. Sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya:
إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ
لَكُمْ
-الزمر : ٧-
“Jika kalian kafir, maka sesungguhnya
Allah tidak memerlukan kalian dan Dia tidak meridlai kekafiran bagi hamba-Nya;
dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridlai bagimu kesyukuran kalian itu…
“(QS. Az-Zumar: 7)
2. Apa yang Allah
kehendaki dalam iradah qadariyah, maka hal itu pasti akan terjadi, karena
berkaitan dengan takdir yang telah Allah tetapkan sebelum diciptakannya langit
dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْ
شَاء رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ –الأنعام : ١١٢-
“…Jikalau Rabb-mu
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan
apa yang mereka ada-adakan.” (QS.Al-An’aam: 112).
Adapun apa yang Allah kehendaki dalam
Iradah syar’iyah karena merupakan perintah, tentu berkaitan dengan ketaatan
para hamba-Nya. Sehingga ada di antara mereka yang taat, dan ada pula yang
bermaksiat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ…-النساء:
64-
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan
untuk dita’ati dengan seizin Allah….“(QS. An-Nisaa’: 64)
Maka dengan ayat ini Allah
menghendaki agar manusia taat kepada rasul-Nya yang diutus-Nya (Iradah
syar’iyah). Namun di antara manusia ada yang mentaati kehendak Allah dan ada
pula yang menentangnya (Iradah qadariyah).
Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ
رَسُولاً أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ
هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلاَلَةُ فَسِيرُوا فِي
اْلأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ. -النحل:
36-
Dan sungguh Kami telah mengutus rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh
Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (para rasul).” (QS. An-Nahl: 36)
C. Kesesatan
Aliran Qadariyah dan Jabariyah dalam Masalah Iradah
Terhadap kedua jenis Iradah syari’yah dan Iradah qadariyah ini, ahlus sunnah mengimani keduanya, hingga mereka berada di atas jalan yang lurus dan selamat dari penyimpangan dan kesesatan.
Hal ini berbeda dengan aliran sesat Qadariyah. Kelompok ini mempercayai adanya Iradah syar’iyah, namun mengingkari adanya Iradah qadariyah. Padahal beriman kepada takdir baik atau buruk adalah merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun iman. Mereka beranggapan bahwa Allah tidak mungkin menakdirkan hal-hal yang tidak dicintai-Nya. Aqidah mereka ini sama seperti keyakinan agama Majusi yang berkeyakinan bahwa Tuhan terang hanya menciptakan kebaikan saja. Adapun kejelekan-kejelekan diciptakan oleh Tuhan gelap.
Sebaliknya aliran Jabriyah, kelompok
ini meyakini adanya Iradah qadariyah, tapi mengingkari adanya Iradah syar’iyah.
Sehingga mereka berpendapat bahwa semua yang telah ditakdirkan oleh Allah
berarti dicintai dan diridlai-Nya. Dengan keyakinan ini, mereka menganggap
bahwa orang kafir dan mukmin sama dalam ketaatannya kepada Allah, karena
keduanya menjalani kehendak Allah. Maka dengan keyakinan sesat ini pula mereka
telah menggugurkan syariat sama sekali. Mereka tidak menyalahkan orang kafir
dan tidak pula memuji orang mukmin, karena –bagi mereka- keduanya sedang
menjalankan kehendak Allah.[6]
D. Sikap Ahlus
Sunnah Terhadap Iradah Syar’iyah Dan Iradah Kauniyah
Demikianlah kesesatan qadariyah dan
jabriyah dalam memahami sifat Iradah dan Masyi’ah bagi Allah. Sedangkan ahlus
sunnah berada di tengah-tengah antara kedua kelompok tersebut. Ahlus sunnah mengimani
adanya Iradah qadariyah dengan tetap berusaha mengikuti kehendak Allah yang
syar’i yaitu Iradah syar’iyah[7].
E. Jawaban Atas
Syubhat “Kepada Siapakah Kehendak Buruk Berpihak”
Adanya syubhat yang diperselisihkan antara orang-orang yang meniadikan takdir buruk dengan mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak layak untuk dikatakan bahwa Dia adalah yang menghendaki kejelekan ataupun pelakunya, karena Allah Ta’ala tidak menghendaki kejelekan dan sekaligus menjadi pelakunya[8].
Dalam pembahasan ini, Ahlus Sunnah
mengambil sikap bahwa takdir Allah itu tidak ada yang buruk dari segala
aspeknya, karena ilmu Allah, kekuasaan, ketetapan, dan kehendak-Nya itu adalah
baik secara mutlak, dan sempurna dari segala aspeknya. Maka dengan demikian kejelekan
atau kehendak buruk tidak dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala baik
dari sisi manapun, tidak pada dzat-Nya, asma’ dan sifat-Nya, tidak pula dalam
segala perbuatan-Nya. Hanya saja kejelekan itu masuk dalam kategori bagian yang
dinisbatkan pada hal-hal yang perlu dikategorikan dalam hal takdir, sehingga
kejelakan itu dinisbatkan kepada suatu keadaan dan kebaikan dinisbatkan kepada
keadaan yang lain, dan bisa jadi menjadi kebaikan tergantung kepada siapa
pelaku itu dinisbatkan[9].
Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman :
وَإِن
تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِ اللّهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ
يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِكَ قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللّهِ فَمَا لِهَـؤُلاء الْقَوْمِ
لاَ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثاً -٧٨- مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّهِ
وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً
وَكَفَى بِاللّهِ شَهِيداً -٧٩- (النساء : 78 -79)
“ Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah”, dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, “Ini dari engkau (Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun). Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami Mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi Saksi.” (QS. An-Nisa’ : 78-79)
Telah diketahui bahwasanya Allah ta’ala
telah membedakan antara al-Hasanat (kebajikan) – yang merupakan
kenikmatan- dan antara as-Sayyiat
(kejelekan)- yang merupakan musibah- dan menjadikan sebagiannya itu berasal
dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dan menjadikan sebagian yang lain dari
manusia itu sendiri. Karena kebajikan itu dinisbatkan kepada Allah saja, karena
Dia-lah yang layak untuk disebut paling baik dari segala aspek. Adapun
kejelekan, Allah menciptakannya karena ada hikmahnya, yaitu agar manusia bisa
mengambil pelajaran dari hikmah tersebut yang merupakan wujud ihsan Allah
kepada hamba-Nya. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala tidak melakukan
kejelekan sama sekali, tetapi justru melakukan semua hal yang merupakan
kebaikan dan kebajikan.[10]
Oleh karena itu Nabi SAW bersabda dalam sebuah pembukaan :
والخير
كله بيديك والشر ليس إليك
“Dan kebaikan itu semuanya ada di
tangan-Mu, sedangkan kejelekan bukanlah berasal dari-Mu.” (HR. Muslim & Abu
Daud).
Maksud dari hadits
di atas adalah : Sesungguhnya Engkau (Allah) tidak menciptakan kejelekan secara
murni, akan tetapi setiap apa yang Dia ciptakan, maka di dalamnya pasti ada
hikmah, yaitu bisa mengambil pelajaran darinya (kejelekan) adalah merupakan
kebaikan. Akan tetapi terkadang ada kejelekan yang dilakukan oleh sebagian
manusia, maka inilah yang dinamakan kejelekan juz’i idhofi (kejelekan
sebagian yang disandarkan/ditambahkan), adapun kejelekan yang bersifat universal ataupun
mutlak, maka Allah Subhanahu wa ta’ala maha suci dari semua hal ini.
Karena kejelekan ini tidak dinisbatkan kepada-Nya. Sehingga bisa diambil
kesimpulan bahwa kejelekan itu tidak dinisbatkan kepada Allah ta’ala semata,
akan tetapi adakalanya masuk dalam kategori keumuman semua makhluk-Nya.[11]
F. Referensi :
-
Muhammad bin
Abdurrazaq, Mafhum al-Qodar wa al-Huriyah inda awa’il as-Shufiyah, (Multaqa,
Ahlu al-Hadits, 2006).
-
Ibnu Jibrin,
Syarhu al-Aqidah at-Thohawiyah.
-
Muhammad Umar as-Sawaid, “Sifat Iradah dan Masyi’ah
Bagi Allah”, dalam “Dakwah Manhaj Salaf”, Edisi 53, Maret 2005 M.
-
Ibn al-Qoyim
al-Jauzi, Syifa’ al-Alil fi Masa’il al-Qadha’ wa al-Qodr wa al-Hikmah wa at-Ta’lil, (Bairut : Dar al-Ma’rifah : 1398 H/ 1978 M)
-
Ali ibn Abi
al-Izz, al-Minhah al-Ilahiyah fi Tahdzhib Syarh at-Thohawiyah, (Bairut :
Dar Ibn al-Jauzi: 1995)
[1]
Muhammad bin Abdurrazaq, Mafhum al-Qodar wa al-Huriyah inda awa’il
as-Shufiyah, (Multaqa, Ahlu al-Hadits, 2006), vol. I, hlm. 2
[2]
Ibnu Jibrin, Syarhu al-Aqidah at-Thohawiyah, vol. 10, hlm. 11
[3]
Ibid.
[4]
Ibid, hlm. 12
[5]
Ibid.
[6] Dikutip
dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, Edisi: 53/Th. II, 30 Muharram 1426 H/11
Maret 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Sifat
Iradah dan Masy’iah Bagi Allah”.
[7] Ibid.
[8]
Ibn al-Qoyim al-Jauzi, Syifa’ al-Alil fi Masa’il al-Qadha’ wa al-Qodr wa
al-Hikmah wa at-Ta’lil, (Bairut : Dar al-Ma’rifah : 1398 H/ 1978 M)
vol. I, hlm. 27.
[9]
Ibid, hlm. 269
[10]
Ali ibn Abi al-Izz, al-Minhah al-Ilahiyah fi Tahdzhib Syarh at-Thohawiyah,
(Bairut : Dar Ibn al-Jauzi: 1995), hlm. 333-334.
[11]
Ibid.
No comments