Kebebasan dalam Islam: Dalam Batasan Syariat
(Sebuah Refleksi
Atas Makna Kemerdekaan yang Hakiki)
الحمد لله الَّذِي أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِنِعْمَةِ
الْإِيمَانِ وَالْإِسْلَامِ، وَجَعَلَنَا مِنْ أُمَّةِ سَيِّدِ الْأَنَامِ،
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Islam adalah agama kebebasan — namun bukan kebebasan tanpa
batas. Islam memuliakan manusia sebagai makhluk yang diberi akal dan kehendak,
tetapi semua itu harus dipakai sesuai tuntunan Ilahi. Sebab kebebasan tanpa
kendali, hanyalah awal dari kekacauan dan kerusakan.
Allah ﷻ berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama.” (QS.
Al-Baqarah: 256)
Ayat ini adalah deklarasi suci bahwa iman sejati lahir dari
pilihan sadar, bukan dari tekanan atau paksaan. Islam tidak memenjarakan
pikiran. Sebaliknya, ia membebaskan manusia dari belenggu kesyirikan, hawa
nafsu, dan kebodohan.
Namun kebebasan dalam Islam bukan berarti bebas berbuat
semaunya. Ia bukan berarti bebas melecehkan kebenaran, menghina ajaran, atau
menabrak norma. Islam mengajarkan bahwa kebebasan itu harus hidup dalam pagar
syariat. Sebab tanpa batas, kebebasan akan berubah menjadi pelanggaran dan
penindasan atas nama hak pribadi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ
أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا…
“Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada yang
memberat-beratkan agama kecuali ia akan dikalahkan. Maka bersikap luruslah,
mendekatlah kepada kebenaran, dan bergembiralah…”
(HR. Bukhari, no. 39)
Ini adalah bukti bahwa Islam tidak mengekang fitrah, tetapi
menuntunnya. Islam bukan penjara, melainkan pagar keselamatan dari jurang
kebinasaan.
Ma’asyiral Muslimin,
Imam asy-Syāṭibī menjelaskan bahwa seluruh tujuan syariat
Islam adalah untuk menjaga lima perkara pokok:
1.
Agama,
2.
Jiwa,
3.
Akal,
4.
Keturunan, dan
5.
Harta.
(Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah, jilid 2, hlm. 8)
Artinya, segala bentuk kebebasan dalam Islam harus
berorientasi pada lima penjagaan itu. Jika suatu perilaku mengancam keselamatan
jiwa, merusak akal, atau merusak keturunan, maka Islam berhak mengekangnya.
Kebebasan berekspresi tidak boleh menghina Nabi ﷺ. Kebebasan berkarya tidak boleh
mempromosikan pornografi. Kebebasan berbisnis tidak boleh menjadikan riba
sebagai sistem. Semua itu bukan pengekangan — melainkan perlindungan dari
kehancuran yang lebih besar.
Ma’asyiral Muslimin yang dirahmati Allah,
Di era modern ini, banyak orang salah mengartikan kebebasan.
Mereka mengira bebas itu berarti bebas dari Tuhan. Padahal, manusia paling
merdeka justru adalah manusia yang paling tunduk kepada aturan Allah.
Seperti yang dikatakan oleh Rabi' bin Amir dalam diplomasi
Qadisiyyah:
“Kami datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan
kepada sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari sempitnya
dunia menuju luasnya akhirat; dari kezaliman berbagai sistem menuju keadilan
Islam.”
(Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 7/39)
Inilah esensi kebebasan yang sesungguhnya: ketika kita hanya
tunduk kepada Allah, bukan kepada hawa nafsu, tren sesat, atau sistem batil.
Jama’ah yang dimuliakan Allah,
Kemerdekaan sejati bukan hanya soal terbebas dari penjajahan
fisik, tetapi juga dari penjajahan moral dan spiritual. Mari kita syukuri
nikmat kebebasan ini dengan tetap taat pada syariat. Jangan biarkan makna
kebebasan ternodai oleh nafsu yang tak terkendali.
Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap teguh di atas
kebenaran, menjadikan kita hamba-hamba yang bebas dalam ketaatan, dan menjaga
bangsa ini dari segala bentuk penjajahan, baik lahir maupun batin.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَآخِرُ
دَعْوَانَا أَنِ الْـحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
No comments