Read More

Makna Nasionalisme Sejati dalam Islam

 


Tema khutbah kita hari ini adalah "Makna Nasionalisme Sejati dalam Islam". Kita hidup di tanah air yang Allah karuniakan dengan begitu banyak nikmat: udara yang segar, tanah yang subur, alam yang indah, dan keamanan yang relatif terjaga. Semua ini bukan kebetulan, tetapi amanah besar yang harus kita jaga. Bila antum menghendaki artikel khutbah jum’at berikut, silakan klik tombol download, dan bila menginginkan dalam versi kultum bisa klik sub judul pada tubuh artikel berikut :


 Download Artikel Khutbah Jum'at

Khutbah Pertama

 

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ. القَائِلِ فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ.

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ.

أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ :  

فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ المُصَلُّونَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

 

Kemerdekaan adalah Amanah: Syukur di Hati, Takwa di Perbuatan

 

Ma’asyiral muslimīn rahimakumullāh,

Salah satu nikmat besar yang Allah berikan kepada kita adalah kemerdekaan. Nikmat ini sering kita anggap biasa karena kita sudah lahir dalam keadaan merdeka. Padahal, di luar sana, masih banyak saudara kita yang hidup di bawah penjajahan, penindasan, atau peperangan. Mereka tidak bisa beribadah dengan tenang, tidak bisa membangun negeri dengan leluasa, bahkan tidak bisa tidur nyenyak karena dentuman bom dan ancaman peluru.

 

Kita di negeri ini bisa shalat berjamaah di masjid dengan aman, mengadakan majelis ilmu tanpa rasa takut, dan berdagang dengan tenang. Semua itu adalah buah dari kemerdekaan yang Allah anugerahkan. Kemerdekaan adalah modal besar untuk menegakkan agama dan membangun peradaban.

 

Allah menegaskan dalam firman-Nya:

 

﴿ وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ ﴾

"Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu memaklumkan: Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat-Ku kepada kalian); tetapi jika kalian kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim : 7)

 

Bersyukur atas kemerdekaan bukan sekadar mengibarkan bendera atau mengikuti upacara, tetapi diwujudkan dengan ketaatan kepada Allah. Karena jika nikmat ini kita isi dengan kemaksiatan, korupsi, perpecahan, dan kemalasan, maka itu adalah bentuk kufur nikmat yang dapat mengundang azab Allah.

 

Ma’asyiral muslimīn,

Di era sekarang, tantangan kita bukan lagi penjajahan fisik, tetapi penjajahan pemikiran dan moral. Media sosial, gaya hidup hedonis, dan budaya bebas sering kali menggerus nilai iman dan akhlak generasi muda. Karena itu, takwa adalah benteng terkuat untuk menjaga kemerdekaan. Kemerdekaan yang tidak diiringi takwa akan melahirkan kekacauan, sementara kemerdekaan yang dibingkai dengan takwa akan melahirkan keberkahan.

 

Maka, mari kita jaga nikmat kemerdekaan ini dengan dua hal: syukur di hati, lisan, dan perbuatan; serta takwa dalam seluruh aspek kehidupan—baik dalam ibadah, muamalah, maupun pengabdian kita kepada negeri.

 

Agama dan Negara: Dua Sayap yang Tak Terpisahkan

 

Ma’asyiral muslimīn rahimakumullāh,

Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaannya bukan hanya mengatur hubungan kita dengan Allah dalam ibadah, tetapi juga mengatur hubungan kita dengan manusia, alam, dan tata kehidupan bernegara. Karena itu, memisahkan agama dari urusan negara adalah seperti memisahkan jiwa dari raga—pasti akan melahirkan kekosongan dan kehancuran.

 

Sejak awal, Rasulullah mencontohkan bahwa agama dan negara harus berjalan seiring. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau bukan hanya menjadi pemimpin agama, tetapi juga kepala pemerintahan yang mengatur ekonomi, keamanan, pendidikan, dan hubungan antar suku. Islam mengajarkan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan rakyat.

 

Allah berfirman:

 

﴿ الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ﴾

 

"Yaitu orang-orang yang apabila Kami beri kedudukan di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar."

(QS. Al-Hajj: 41)

 

Ayat ini menjelaskan bahwa kekuasaan sejati adalah yang digunakan untuk mendirikan shalat (menegakkan agama), menunaikan zakat (membangun kesejahteraan), menyuruh kepada yang ma’ruf (menegakkan kebaikan), dan mencegah kemungkaran (menjaga moral bangsa).

 

Ma’asyiral muslimīn,

Di era modern, ada ide-ide yang ingin memisahkan agama dari negara, menganggap agama hanya urusan masjid, sedangkan negara diatur tanpa campur tangan nilai-nilai wahyu. Akibatnya, hukum kehilangan keadilan, ekonomi dikuasai keserakahan, dan masyarakat kehilangan arah moral.

 

Islam justru mengajarkan bahwa agama adalah cahaya yang menerangi jalan negara, dan negara adalah pagar yang melindungi agama. Jika keduanya bersinergi, akan lahir keadilan, persatuan, dan perdamaian. Namun, jika keduanya dipisahkan, bangsa akan berjalan tanpa kompas, mudah terombang-ambing oleh arus ideologi asing.

 

Maka, tugas kita sebagai muslim adalah memastikan bahwa nilai-nilai Islam hadir dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara—baik melalui peran sebagai pemimpin, pendidik, pedagang, maupun warga biasa—karena kita semua adalah bagian dari bangunan negeri ini.

 

Nasionalisme = Pengorbanan untuk Tanah Air

 

Ma’asyiral muslimīn rahimakumullāh,

Cinta tanah air bukan hanya sekadar perasaan yang tersimpan di hati atau slogan yang diucapkan di bibir. Cinta sejati selalu melahirkan pengorbanan. Bila kita benar-benar mencintai negeri ini, maka kita siap berkorban demi melindunginya dari segala ancaman—baik ancaman fisik seperti penjajahan dan terorisme, maupun ancaman non-fisik seperti kerusakan moral, perpecahan, dan kemiskinan.

 

Rasulullah menegaskan dalam sabdanya:

 

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

"Barangsiapa terbunuh karena membela hartanya, maka ia syahid. Barangsiapa terbunuh membela darahnya (nyawanya), maka ia syahid. Barangsiapa terbunuh membela agamanya, maka ia syahid. Dan barangsiapa terbunuh membela keluarganya, maka ia syahid."

(HR. al-Tirmiżī, no. 1421.)

 

Hadits ini menunjukkan bahwa membela kehormatan, keluarga, agama, dan negeri dari segala bentuk ancaman adalah amal mulia yang bernilai syahid.

 

Ma’asyiral muslimīn rahimakumullāh,

Di zaman modern, musuh bangsa tidak selalu datang dengan senjata dan pasukan. Mereka bisa datang dengan serangan ideologi yang melemahkan iman, serangan narkoba yang menghancurkan generasi muda, atau serangan hoaks dan fitnah yang memecah belah persatuan umat. Melawan itu semua juga adalah bentuk jihad yang membutuhkan pengorbanan.

 

Pengorbanan ini tidak selalu berupa nyawa di medan perang. Ia bisa berupa tenaga, pikiran, ilmu, waktu, dan harta untuk membangun pendidikan, memperkuat ekonomi umat, menjaga persatuan, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

 

Sejarah negeri ini penuh dengan teladan pengorbanan. Para ulama, santri, dan pejuang bangsa mengorbankan harta, jiwa, bahkan keluarga demi tegaknya kemerdekaan. Mereka tidak bertanya: “Apa yang negara berikan padaku?” tetapi mereka bertanya: “Apa yang bisa aku berikan untuk negeriku?”

 

Maka, mari kita isi kemerdekaan ini dengan pengorbanan yang bermanfaat: mendidik generasi yang shalih, menjaga keamanan lingkungan, membantu fakir miskin, dan melawan segala bentuk kemungkaran yang mengancam kelestarian negeri. Karena nasionalisme sejati adalah kesiapan untuk berkorban, bukan hanya kebanggaan di lisan.

 

Nasionalisme sebagai Wujud Kesetiaan kepada Negara

Jama’ah Jum’at rahimakumullāh,

Salah satu akhlak mulia yang diajarkan Islam kepada umatnya adalah kesetiaan kepada negara dan tanah air. Kesetiaan ini bukan sekadar slogan kosong, tetapi wujud nyata dari rasa syukur kepada Allah atas nikmat negeri yang aman dan merdeka. Dalam Islam, mengkhianati negara demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu adalah perbuatan tercela yang bisa meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Tanah air yang kita pijak ini adalah amanah dari Allah. Amanah untuk dimakmurkan, dijaga, dan dipelihara—bukan dirusak atau dieksploitasi hanya demi keuntungan sesaat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

﴿ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا ﴾


“Dia menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian untuk memakmurkannya.” (QS. Hūd: 61)

Ayat ini menegaskan bahwa kemakmuran bumi adalah tugas manusia. Di era modern, memakmurkan tanah air bukan hanya berarti mengolah sawah dan ladang, tetapi juga menjaga lingkungan, menegakkan hukum, memberantas korupsi, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan berkontribusi positif dalam pembangunan.

Namun, di tengah perkembangan zaman, kesetiaan kepada negara sering diuji. Ada yang tergoda untuk mengorbankan kepentingan bangsa demi keuntungan pribadi, ada yang rela menjual sumber daya negeri kepada pihak asing, bahkan ada yang merusak persatuan dengan menebar kebencian dan fitnah. Semua ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah.

Jama’ah yang dimuliakan,
Kesetiaan kepada negara bukan berarti membenarkan semua kebijakan tanpa kritik, tetapi berarti menjaga keutuhan negeri ini dengan cara yang benar dan maslahat. Seperti menjaga rumah sendiri—jika ada kebocoran, kita perbaiki; jika ada sampah, kita bersihkan; bukan malah membakar atau merobohkannya.

Maka, marilah kita menjadi warga negara yang amanah: setia, jujur, dan bertanggung jawab. Karena ketika negara kuat, aman, dan makmur, maka ibadah kita lebih tenang, dakwah lebih luas, dan generasi kita lebih terjamin masa depannya.

 

Nasionalisme = Menjunjung Simbol dan Nilai Negara

 

Nasionalisme tidak hanya tampak dalam ucapan cinta tanah air, tetapi juga dalam sikap nyata menghormati simbol dan nilai negara. Simbol-simbol ini—seperti bendera, lambang negara, dan bahasa persatuan—bukan sekadar kain, gambar, atau kata-kata. Ia adalah representasi dari sejarah, perjuangan, dan pengorbanan para pendahulu kita.

 

Rasulullah sendiri memberikan teladan cinta kepada tanah kelahirannya. Ketika beliau harus meninggalkan Makkah karena tekanan kaum kafir Quraisy, beliau berdiri menatapnya dengan penuh haru seraya bersabda:

 

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ

“Demi Allah, engkau (wahai Makkah) adalah negeri terbaik di sisi Allah dan negeri yang paling aku cintai. Seandainya aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan keluar.” (HR. Ibn Mājah, no. 3108)

 

Bahkan ketika beliau tiba di Madinah, beliau tidak lupa berdoa:

 

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

“Ya Allah, cintakanlah kami kepada Madinah sebagaimana Engkau mencintakan kami kepada Makkah atau lebih dari itu.”

(Muttafaq ‘alaih, al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 1889 dan Muslim, no. 1376)

 

Jama’ah yang dirahmati Allah,

Dari sini kita belajar bahwa menghormati simbol dan nilai negara adalah bagian dari iman dan akhlak mulia. Di zaman sekarang, bentuknya bisa berupa menjaga kehormatan bendera, menghormati lagu kebangsaan, menjaga bahasa persatuan, serta menghindari ujaran yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

 

Di tengah maraknya arus informasi yang tak terkendali, kita justru diuji: apakah kita akan ikut menyebarkan fitnah dan kebencian yang merusak persatuan, ataukah kita akan menjadi penjaga nilai-nilai luhur bangsa? Menghormati simbol negara adalah menjaga ruh persatuan. Tanpa rasa hormat ini, bangsa akan mudah retak, bahkan sebelum dihantam musuh dari luar.

 

Tanah Air adalah Tempat Kita Mengabdi

 

Ma’asyiral muslimīn rahimakumullāh,

Tanah air ini adalah anugerah Allah yang tak ternilai. Ia adalah tempat kita berpijak, bernaung, mencari rezeki, membesarkan keluarga, dan menegakkan ibadah. Tanpa tanah air yang aman, manusia tidak memiliki ruang hidup yang stabil, dan ibadah pun akan sulit dijalankan.

 

Lihatlah saudara-saudara kita di negeri-negeri yang dilanda perang—mereka ingin shalat berjamaah pun harus sembunyi-sembunyi, ingin mengaji pun dihantui rasa takut, dan ingin bekerja pun terhalang oleh kehancuran negeri.

 

Karena itu, menjaga tanah air adalah bagian dari menjaga nikmat Allah. Menjaga negeri berarti menjaga masjid-masjidnya, sekolah-sekolahnya, generasi mudanya, lingkungannya, dan persatuannya.

 

Ma’asyiral muslimīn,

Rasulullah sendiri memberikan teladan mencintai tanah kelahiran. Ketika beliau harus meninggalkan Makkah menuju Madinah, beliau bersabda:

 

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ

 

“Demi Allah, engkau (wahai Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah dan bumi yang paling aku cintai. Kalau bukan karena aku diusir darimu, aku tidak akan keluar.”

(HR. al-Tirmiżī, no. 3925)

 

Bukan hanya Makkah, Rasulullah juga mendoakan Madinah agar dicintai:

 

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

"Ya Allah, tanamkanlah kecintaan kami kepada Madinah sebagaimana kecintaan kami kepada Makkah, atau bahkan lebih dari itu."

(Muttafaqun ‘alaih: HR. al-Bukhārī no. 1889, Muslim no. 1376)

 

Ini menunjukkan bahwa mencintai dan mendoakan kebaikan bagi negeri tempat tinggal adalah sunnah Nabi .

 

Ma’asyiral muslimīn rahimakumullāh,

Nasionalisme sejati adalah bentuk syukur atas pengorbanan para pendahulu. Mereka telah mengorbankan harta, tenaga, bahkan nyawa agar kita bisa menikmati udara kemerdekaan hari ini. Syukur itu bukan hanya diucapkan di bibir, tetapi dibuktikan dengan pengabdian.

 

Pengabdian kepada tanah air bukan berarti mengorbankan agama demi dunia, tetapi menjadikan agama sebagai ruh yang menghidupkan bangsa. Imam al-Māwardī رحمه الله berkata:

 

إِنَّ حِفْظَ الدِّينِ وَالدَّوْلَةِ مِنْ أَعْظَمِ مَقَاصِدِ الإِمَامَةِ، فَإِنَّ الدِّينَ أَسَاسٌ، وَالدَّوْلَةَ حَارِسٌ، وَمَا لَا أَسَاسَ لَهُ فَمُهَدَّمٌ، وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَمُضَيَّعٌ

“Menjaga agama dan negara adalah tujuan terbesar kepemimpinan. Agama adalah pondasi, dan negara adalah penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan runtuh, dan yang tidak memiliki penjaga akan sia-sia.”

(al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, hlm. 15)

 

Syaikh ‘Abdullāh bin Bayyah حفظه الله menegaskan:

 

حِفْظُ الْأَوْطَانِ مِنْ أَعْظَمِ الْمَقَاصِدِ، فَإِنَّهُ بِهِ تُصَانُ النُّفُوسُ وَالأَمْوَالُ وَالأَعْرَاضُ وَالأَدْيَانُ

 

“Menjaga tanah air adalah salah satu tujuan terbesar (syariat), karena dengannya nyawa, harta, kehormatan, dan agama dapat terpelihara.”

(Forum for Promoting Peace in Muslim Societies, Abu Dhabi, 2015)

Gagasan tersebut selaras dengan perkembangan pemikiran ulama modern, misalnya:

 

KH Ma’ruf Amin menyampaikan bahwa menjaga negara (hifdz al-wathan) merupakan bagian dari pengembangan tujuan syariah (maqāṣid al-syarī‘ah), sehingga jumlahnya menjadi enam (bukan hanya lima tradisional), untuk menjaga kehidupan, agama, akal, keturunan, harta, dan negara.

 

Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri, seorang ulama Yaman, juga menekankan bahwa keamanan dan kestabilan tanah air adalah prasyarat penting agar tujuan-tujuan syariat dapat terlaksana dengan baik.

 

Ma’asyiral muslimīn,

Tugas kita tidak berhenti pada menjaga, tetapi juga mewariskan nilai cinta tanah air ini kepada generasi berikutnya. Anak-anak kita harus dibekali akidah yang kokoh, akhlak yang mulia, keterampilan yang bermanfaat, dan semangat membangun bangsa. Jika generasi penerus kita lemah iman, malas belajar, dan kehilangan kepedulian terhadap negeri, maka kemerdekaan ini akan terancam dari dalam.

 

Maka, mari kita jadikan tanah air ini bukan sekadar tempat tinggal, tetapi tempat pengabdian. Kita bekerja bukan hanya untuk gaji, belajar bukan hanya untuk ijazah, dan menjaga negeri bukan hanya untuk keamanan pribadi, tetapi sebagai amanah dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَاِيَاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ بنِ عَبدِ اللهِ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ المُسلِمُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَاعلَمُوْا إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَواْ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ.

قَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ.

اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ بُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ خَاصَّةً بِلَادِ فَلِسْطِيْن.

رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ

عِبَادَاللهِ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرُكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

 

 

 

 

No comments