Read More

Sang Penjaga Wasiat Nabi di Gerbang Konstantinopel



 

Pintu Hati yang Terbuka untuk Cahaya Risalah

Madinah bergetar. Suara takbir menggema, manusia berdesakan menyambut seorang utusan Allah yang baru saja tiba. Unta itu berjalan pelan, langkahnya mantap, seolah tahu persis ke mana ia harus berhenti. Hingga pada akhirnya, hewan itu berlutut di depan sebuah rumah sederhana milik seorang lelaki Anshar yang rendah hati: Abu Ayyub al-Anshari.

 

“Di sinilah kita akan singgah,” ucap Nabi .

 

Hari itu, pintu rumah Abu Ayyub terbuka lebar. Tapi yang lebih luas daripada pintu rumahnya adalah pintu hatinya. Ia menjadi tuan rumah Nabi , namun sejatinya ia sedang menjamu cahaya risalah yang kelak menyinari seluruh dunia.

 

Namun kisah Abu Ayyub tidak berhenti di Madinah. Ia bukan sekadar penjamu Nabi, tapi pejuang sejati yang mengikat hidupnya dengan satu kalimat: lā ilāha illallāh.

 

Dari Madinah Menuju Ujung Dunia

 

Waktu terus berjalan. Rasulullah telah wafat, para khalifah silih berganti, dan panji Islam menjalar laksana cahaya fajar, menerangi jazirah Arab, menembus Persia, Syam, hingga Mesir.

 

Di antara para mujahid yang setia itu, ada seorang lelaki renta. Rambutnya telah memutih, tubuhnya semakin rapuh, namun sinar matanya tak pernah pudar. Dialah Abu Ayyub al-Anshari, tuan rumah Rasulullah ketika pertama kali hijrah ke Madinah.

 

Seiring usia yang menua, satu hal tetap menyala di dadanya: api jihad yang tak pernah padam. Ia sadar, hidup hanyalah perjalanan singkat menuju Allah. Kemenangan sejati bukanlah sekadar menaklukkan negeri, melainkan ketika kelak bertemu Allah dengan wajah berseri.

 

Lalu tibalah kabar itu. Sebuah rencana besar digelar. Pasukan Islam akan bergerak menuju benteng terkuat dunia saat itu: Konstantinopel, ibukota Romawi Timur, pintu gerbang Eropa.

 

Semua orang tahu, ini bukan perang biasa. Bentengnya menjulang, temboknya tak tertembus, pasukannya dikenal gagah berani.

 

Ketika pasukan besar itu bersiap, Abu Ayyub tak sudi tinggal diam di Madinah. Meski umurnya hampir mencapai delapan puluh tahun, ia meminta agar namanya tetap dicatat sebagai bagian dari pasukan.

 

“Wahai Abu Ayyub,” bisik sebagian sahabat muda, penuh hormat, “Engkau sudah tua. Perang ini panjang dan berat. Istirahatlah, biarlah kami yang maju.”

 

Namun Abu Ayyub menatap mereka dengan mata yang berkilat, seakan api masa mudanya kembali menyala. Suaranya bergetar, namun penuh keyakinan:

 

“Bagaimana mungkin aku mendengar sabda Rasulullah tentang Konstantinopel, lalu aku berdiam diri di rumahku? Tidak! Aku ingin menjadi bagian dari pasukan itu, meski hanya dengan tubuh renta ini.”

 

Kata-katanya bagaikan petir yang membelah langit. Hati para pemuda tersentak. Semangat mereka yang sempat goyah, kembali berkobar. Mereka merasa seolah Allah menghadiahkan kepada mereka bendera hidup berupa Abu Ayyub—sahabat Nabi yang tetap berdiri di barisan jihad, bahkan di usia senja.

 

Dan dari Madinah, ia benar-benar melangkah ke ujung dunia. Menuju Konstantinopel. Menuju takdirnya yang agung.

 

Janji yang Selalu Hidup

 

Sejak Rasulullah wafat, sabda beliau tentang penaklukan Konstantinopel terus bergaung di dada umat Islam.

 

Setiap generasi memandang ke barat, ke arah kota raksasa yang berdiri kokoh di tepi Bosphorus. Konstantinopel—dengan temboknya yang menjulang, laut yang dijaga rantai baja, dan api Yunani yang tak bisa dipadamkan. Mustahilkah kota itu ditaklukkan? Tidak, sebab Nabi telah bersabda:

 

لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ

 

“Sungguh, Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang menaklukkannya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.”

 

(HR. Ahmad dalam al-Musnad [no. 18189], al-Hakim dalam al-Mustadrak [4/422], al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir [2/81]. Dinilai hasan oleh al-Haitsami dalam Majma‘ az-Zawaid [6/218], juga dinyatakan shahih li ghairihi oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah [no. 4.929]).

 

Maka dari masa ke masa, para khalifah dan sultan berlomba mewujudkannya. Dari Bani Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani—semua pernah mencoba. Pasukan demi pasukan datang mengepung, namun selalu gagal.

 

Di antara mereka ada Abu Ayyub al-Anshari, sahabat Nabi yang sudah tua renta, tetap berangkat hingga gugur di depan tembok kota. Ia berwasiat, “Kuburkan aku sejauh-jauh mungkin ke arah Konstantinopel. Aku ingin dekat dengan janji Nabi itu.”

 

Ratusan tahun berlalu. Doa, darah, dan harapan menjadi warisan turun-temurun. Hingga pada abad ke-15, lahirlah seorang pemuda bernama Muhammad bin Murad, yang kelak dikenal sebagai Sultan Muhammad al-Fatih.

 

Di usia 21 tahun, ia memimpin pasukan besar, menyatukan ilmu, iman, dan keberanian. Dengan strategi brilian—menyeret kapal di atas daratan, meriam raksasa yang merobohkan dinding, dan semangat jihad yang membara—ia berhasil menembus kota yang selama berabad-abad tak tersentuh.

 

29 Mei 1453, Konstantinopel jatuh ke tangan kaum Muslimin. Dan saat itu, umat Islam menyadari: janji Rasulullah benar-benar telah ditepati.

Pengepungan Konstantinopel

 

Tahun 49 Hijriah, ombak Laut Marmara bergemuruh, memukul lambung kapal-kapal Muslim dengan dentuman yang seolah menyuarakan semangat pasukan. Di darat, barisan prajurit menatap dinding-dinding raksasa Konstantinopel, yang menjulang tinggi seperti gunung batu yang menantang iman setiap pejuang. Dari balik benteng, terompet Bizantium berbunyi nyaring, menantang, seakan menyindir keberanian kaum Muslimin.

 

Di barisan depan, di atas kuda tua yang setia menapak tanah, berdiri seorang lelaki renta. Rambutnya memutih, tubuhnya bungkuk, tangan gemetar menggenggam pelana, namun wajahnya tegap menatap musuh. Matanya bersinar, memancarkan semangat yang tak kalah dengan prajurit muda di sekelilingnya. Dialah Abu Ayyub al-Anshari, sahabat Rasulullah , yang telah menua namun tak pernah menua dalam iman dan cinta pada jihad.

 

Namun tubuh manusia punya batas. Tubuh Abu Ayyub mulai menyerah pada lelah dan sakit yang mendera. Di tengah riuh suara perang, dentum meriam, dan teriakan prajurit, ia terseret ke tenda sederhana. Tubuhnya lemah, nafasnya tersengal. Di sana, ia menatap langit, wajahnya bercampur antara rasa sakit dan ketenangan iman.

 

Di balik keriput dan rasa sakit itu, hatinya tetap membara. Ia tahu, setiap detik yang tersisa adalah amanah, setiap helaan nafas adalah saksi cinta pada Nabi . Abu Ayyub menutup mata sejenak, menenangkan jiwa. Ia tidak takut, sebab ia telah menyiapkan diri untuk bertemu Allah, di bawah langit yang sama yang dulu menaungi Rasulullah .

 

Dan saat waktu itu tiba… tubuh renta itu pun menyerah, tetapi ruh jihadnya tetap berdiri tegak di barisan kaum Muslimin, menjadi lentera abadi bagi generasi yang akan datang.

Wasiat Seorang Pejuang

Suara serak Abu Ayyub memecah hiruk-pikuk perkemahan. Nafasnya tersengal, tubuh renta itu nyaris tak mampu menahan sakit, namun tatapannya tetap penuh wibawa, penuh tekad yang tak lekang oleh usia.

 

“Jika aku wafat,” bisiknya lirih, suaranya nyaris tertelan angin perang, “jangan kuburkan aku di sini, di perkemahan ini. Bawalah jasadku… sejauh mungkin ke wilayah musuh. Kuburkan aku di bawah kaki-kaki kuda pasukan Muslim, sedekat mungkin dengan dinding kota itu. Biarlah musuh tahu… sahabat Rasulullah tidak gentar, bahkan setelah mati sekalipun.”

 

Sekejap, hening menyelimuti barisan panglima dan prajurit di sekitarnya. Mata mereka menatap lelaki renta itu dengan kagum dan haru. Air mata tak tertahankan; hatinya bergetar menyaksikan seorang sahabat Nabi yang di ujung hidupnya masih menempatkan kejayaan Islam di atas dirinya sendiri.

 

Detik-detik terakhir tiba. Abu Ayyub menutup mata, namun senyum kecil terukir di wajahnya—senyum seorang pejuang yang telah menunaikan amanah, yang telah mengikat seluruh hidupnya pada janji Allah dan Rasul-Nya.

 

Ia wafat di bumi asing, jauh dari Madinah yang dulu menaungi rumahnya, namun hatinya telah mencapai surga. Dan jasadnya, kelak, akan menjadi saksi abadi di kaki tembok Konstantinopel, bendera semangat jihad yang tak pernah padam bagi generasi yang akan datang.

 

Makam di Gerbang Kota

Pasukan Muslim menepati wasiat Abu Ayyub dengan kesungguhan dan rasa hormat yang mendalam. Jasad sahabat Nabi itu diangkat, dibawa melewati medan yang bergemuruh dengan dentuman panah dan kilatan pedang, menuju tembok raksasa Konstantinopel yang tampak tak tertembus.

 

Di bawah bayang-bayang dinding yang menjulang tinggi, mereka menggali tanah dengan tangan yang berlumur debu. Air mata bercampur dengan tanah, namun hati setiap prajurit bergetar karena menyadari bahwa di sini, seorang sahabat Nabi akan menjaga kota meski jasadnya telah tiada. Abu Ayyub dimakamkan—menjadi penjaga sunyi di gerbang peradaban, simbol keberanian dan cinta sejati pada Islam.

 

Berabad-abad kemudian, ketika Sultan muda Muhammad al-Fatih berhasil menaklukkan kota itu pada tahun 1453 M, hatinya tertuju pada makam sahabat mulia ini. Dengan langkah terburu namun penuh khidmat, ia menunduk, memohon restu dan berdoa. Sejak hari itu, setiap sultan Ottoman yang naik takhta menyematkan pedang penobatan di dekat makam Abu Ayyub, menegaskan bahwa jihad, keberanian, dan cinta pada agama tidak pernah berhenti—bahkan melampaui batas kehidupan dan waktu.

 

Warisan Abadi

Abu Ayyub al-Anshari menutup mata untuk selama-lamanya pada usia lebih dari delapan puluh tahun, jauh dari tanah kelahirannya di Madinah, namun hatinya tetap dekat dengan janji yang disampaikan Rasulullah .

 

Hidupnya dimulai dengan kehormatan menjadi tuan rumah Nabi , membuka pintu rumah dan hatinya untuk dakwah Islam. Dan hidupnya berakhir dengan kemuliaan sebagai tamu di gerbang kota yang dijanjikan kemenangan—Konstantinopel.

 

Kini, di Istanbul yang modern, Masjid Eyüp Sultan berdiri megah di samping makamnya. Setiap hari, ribuan manusia dari berbagai penjuru datang menapaki halaman suci itu, berziarah, menundukkan kepala dalam doa, dan merenungkan teladan hidup seorang sahabat Nabi. Abu Ayyub tetap hidup dalam ingatan umat, bukan hanya sebagai nama dalam sejarah, tetapi sebagai lentera iman, keberanian, dan keteguhan yang menembus batas waktu.

 

Pesan yang Hidup

 

Di balik tembok kokoh Konstantinopel, dalam dinginnya malam peperangan, ada sebuah makam sederhana. Batu nisannya mungkin diam, tanahnya mungkin beku, tapi dari sana memancar cahaya yang tak pernah padam: pesan hidup dari Abu Ayyub al-Anshari.

 

Pesan itu bukan sekadar baris kata. Ia adalah gema sejarah, bisikan ruh yang merambat dari masa lalu, mengetuk hati siapa saja yang mau mendengar.

 

Pertama, Abu Ayyub mengajarkan bahwa cinta kepada Nabi bukanlah sekadar kalimat yang manis di bibir. Cinta itu adalah api yang dijaga hingga akhir hayat. Saat Rasulullah singgah di rumahnya, Abu Ayyub tak hanya membuka pintu, tapi juga membuka seluruh hidupnya. Dan hingga usia senja, cinta itu tetap menyala—membawanya jauh dari Madinah, menembus medan perang, sampai ke gerbang Konstantinopel.

 

Kedua, ia meninggalkan teladan bahwa semangat jihad tak pernah mengenal usia. Rambutnya mungkin telah memutih, langkahnya mungkin melemah, tetapi semangatnya justru makin menyala. Abu Ayyub berdiri di barisan depan, seolah tubuh renta itu menjadi bendera semangat bagi generasi yang lebih muda. Ia berpesan dengan tindakannya: “Selama napas masih ada, jalan jihad belum pernah tertutup.”

 

Ketiga, Abu Ayyub mengingatkan bahwa warisan sejati bukanlah harta atau nama besar, melainkan keyakinan yang ditanamkan dalam hati umat. Ia tidak mewariskan istana, tidak pula kekayaan. Namun ia meninggalkan sesuatu yang jauh lebih bernilai: sebuah teladan bahwa iman bisa lebih abadi dari jasad, dan semangat bisa lebih hidup dari kehidupan itu sendiri.

 

Maka, Abu Ayyub al-Anshari adalah saksi. Bahwa seorang mukmin sejati tidak pernah benar-benar berhenti berjuang. Bahkan ketika jasadnya membeku di bawah tanah, ruh jihadnya tetap berdiri dalam barisan kaum Muslimin.

 

Ia adalah suara yang hidup di sepanjang zaman, berbisik kepada hati kita:

“Apakah engkau mencintai Rasulullah sebagaimana aku mencintainya? Apakah engkau siap menjaga imanmu, meski usia renta, meski langkah melemah, meski dunia berkata cukup?”

 

Dan setiap kali kita mendengar pesan itu, kita sadar: Abu Ayyub memang telah wafat, tapi pesannya terus hidup—membimbing umat, menyalakan semangat, hingga akhir zaman.

 

Catatan Sejarah

·        Abu Ayyub wafat pada pengepungan pertama Konstantinopel (674 M), bukan saat penaklukan oleh al-Fatih (1453 M).

·        Wasiatnya untuk dimakamkan di kaki tembok kota tercatat dalam karya-karya sejarah seperti al-Bidayah wa al-Nihayah Ibn Kathir.

·        Hadits nubuwat penaklukan diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, al-Bukhari dalam at-Tarikh, dengan sanad hasan.

·        Sultan Muhammad al-Fatih menjadikan makam Abu Ayyub sebagai tempat penobatan sultan Ottoman setelah penaklukan 1453.

 

 

Referensi Sejarah

1.     Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah

2.     al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa

3.     al-Hakim al-Nishapuri, al-Mustadrak (riwayat tentang Abu Ayyub dan penaklukan Konstantinopel)

4.     Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad [no. 18189]

5.     Al-Bukhari, Tarikh al-Kabir [2/81]

6.     Al-Haitsami, Majma‘ az-Zawaid [6/218]

7.     Al-Albani, as-Silsilah ash-Shahihah [no. 4.929]

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments