Makna Berkurban: Ibadah Simbol Ketakwaan dan Cinta kepada Allah
Pengantar: Ketika Pedang Tak Hanya Melukai, Tapi Menguatkan Hati
Setiap
tahun, jutaan kaum muslimin di seluruh dunia menyambut datangnya Idul Adha
dengan gema takbir dan aroma khas hewan kurban yang disembelih. Namun, di balik
tradisi ini tersimpan makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar rutinitas
tahunan. Berkurban bukan hanya soal menyembelih hewan, tetapi tentang
menyembelih ego, keakuan, dan kemelekatan pada dunia.
Pengertian Berkurban dalam Syariat
Dalam
literatur fikih, kurban didefinisikan sebagai:
مَايُذْبَحُ
مِنَ النَّعَمِ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ إِلَى آخِرِ
أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ
"Binatang
ternak tertentu yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah,
dimulai dari hari Nahr sampai akhir dari hari-hari tasyriq". (Lihat:
Al-Yaqut An-Nafis, hal. 304)
Dengan
definisi ini, kita memahami bahwa esensi dari berkurban adalah taqarrub
ilallah—mendekatkan diri kepada Allah. Ini adalah ibadah yang menyatukan hati
dan amal dalam sebuah tindakan simbolik yang kuat: menyembelih sesuatu yang
bernilai, demi menggapai ridha Allah.
Refleksi dari Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail: Sebuah Ujian Cinta
Kisah Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam yang diperintahkan menyembelih putranya, Ismail,
adalah narasi spiritual yang menggugah hati. Allah ingin menguji: mana yang
lebih dicintai oleh Ibrahim—anaknya, atau perintah Rabb-nya?
Dan
ternyata, Nabi Ibrahim lulus dengan predikat tertinggi dalam ujian ini. Maka
Allah ganti Ismail dengan seekor domba dari surga. Sejak itulah, setiap umat
Islam yang berkurban sesungguhnya sedang berkata kepada Allah: "Ya Rabb,
tiada yang lebih aku cintai daripada-Mu. Bahkan harta yang kucari dan pelihara,
rela aku sembelih demi-Mu."
Mengapa Harus Ternak?
Bukan tanpa
alasan Allah mensyariatkan hewan ternak sebagai objek kurban. Hewan
ternak—seperti kambing, sapi, atau unta—adalah harta berharga dalam budaya
agraris dan padang pasir zaman dahulu. Ini menunjukkan bahwa kurban bukanlah
menyumbangkan sisa atau kelebihan, tapi memberikan yang terbaik dari apa yang
kita punya.
Makna Sosial dan Spiritual Kurban
Menumbuhkan
Empati Sosial
Daging
kurban dibagikan, terutama kepada fakir miskin, sehingga mereka turut merasakan
nikmat makanan yang lezat dan bergizi. Ini bentuk solidaritas nyata yang
menghilangkan sekat antara si kaya dan si miskin.
Pembersih Jiwa dari Kekikiran
Allah Ta’ala
berfirman:
لَنْ يَّنَالَ
اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ
كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ
وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ
“Daging
(hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah,
tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demi-kianlah Dia
menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia
berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al-Hajj: 37)
Maka nilai
kurban bukan pada dagingnya, tapi pada niat, ketundukan, dan keikhlasan hati.
Simbol Ketaatan Tanpa Kompromi
Kurban
adalah simbol kepatuhan total. Ketika seseorang rela menyembelih harta
terbaiknya, itu menunjukkan bahwa ia siap mengikuti perintah Allah meskipun
sulit dan tidak masuk akal secara duniawi.
Penutup: Apakah Kita Siap Berkurban?
Idul Adha
mengajarkan kita bahwa dalam hidup ini, akan selalu ada
"Ismail-Ismail" yang harus kita relakan—baik itu ambisi, harta, ego,
atau keinginan duniawi—demi menggapai ridha Allah. Pertanyaannya adalah: apakah
kita siap menyembelihnya?
Berkurban
bukan sekadar ibadah tahunan. Ia adalah pernyataan cinta, bentuk pengorbanan,
dan simbol tauhid yang paling konkret.
No comments